MASALAH HUKUM NIAT DALAM BERIBADAH
Niat umumnya merupakan langkah awal bagi seseorang dalam melaksanakan ibadah atau apapun yang hendak di lakukan, setiap gerak perbuatan pada dasar awalnya adalah terbit dari dalam hati dan berbentuk serangkaian kata-kata, begitulah sekilas dari yang namanya niat, melafadzkan niat adalah sudah umum di lakukan oleh masyarakat kita, utamanya pada awal pelaksanaan ibadah, landasan lafadz niat ini bisa kita dapatkan pada ilmu fiqh syari’at Islam, misalnya lafadz niat itu adalah bacaan-bacaan niat pada shalat lima waktu seperti “Ushalli fardhul ashri arba’a raka’atin ada’an/makmuman/imaman lillahita’ala…Allahu Akbar.
Niat ini sudah umum di lakukan oleh masyarakat apabila mau beribadah kepada Allah Swt, baik bila waktu hendak berwudhu’, akan shalat, puasa dan ibadah lain sebagainya, semua niatnya memakai lafadz sesuai arah dan tujuan ibadah yang di maksud sebagaimana contoh pada akan shalat di atas.
Niat bila dalam shalat tidaklah bisa menggantikan takbir, akan tetapi niat adalah bersamaan dengan takbir pelaksanaannya, bila ibadahnya shalat, maka takbiratul’ihram di lakukan serentak atau bersamaan dengan takbir, sebab takbir adalah rukun shalat yang wajib pada awal pelaksanaannya, maka niat dengan takbir adalah bersamaan mengerjakannya.
Bila hendak mendirikan shalat umpamanya, maka wajib memulai shalat tersebut dengan niat dalam hati bersamaan dengan mengucapkan secara lisan atau dengan lidah atau secara jihar takbiratul’ihram (Allahuakbar) secara bersamaan dengan niat, begitu yang di terangkan oleh Imam An-Nawawi, jadi niat dengan takbir dilakukan bersamaan dengan takbir.
Apa yang di ucapkan sebelum takbiratul’ihram itu walau bunyinya adalah niat shalat tertentu sebagaimana contoh di atas adalah bukan termasuk rukun shalat, tetapi adalah merupakan penguatan terhadap pekerjaan ibadah yang kita lakukan, namun bila saat mengangkat takbir tidak di sertai shalat, maka tidaklah baik niat yang sedemikian.
Masalah letak niat ini menurut madzhab selain dan Al-Imam As-Syafi’i adalah boleh mendahulukan membaca niat atas takbiratul’ihram dengan catatan waktunya sesingkat mungkin, madzhab hanabilah dalam hal ini memilih waktu niat tersebut dengan cara bersamaan untuk menghindari kesalahpahaman pada selang waktu niat.
Mengucapkan niat tidak di syaratkan, bacaan niat bukanlah merupakan suatu syarat dalam hal untuk memulai ibadah, termasuk pada shalat, puasa dan lain sebagainya, umpamanya melafadzkan niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian wajib shalat. Uraian ini menyatakan bahwa niat tempatnya di dalam hati, niat adalah amalan hati atau niat bersama hati.
Niat merupakan goresan kata dan tujuan atas sesuatu dan letaknya dalam hati, niat shalat di lakukan bersamaan dengan takbiratul’ihram, kalau umpamanya shalat, maka adalah merupakan bagian dari shalat, adapun melafadzkan niat adalah amalan lisan, yang hanya di lakukan sebelum takbiratul’ihram, artinya di lakukan sebelum masuk dalam bagian shalat dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat, juga maksudnya niat shalat tidaklah sama dengan melafadzkan niat.
Hukum letak melafadzkan niat ini menurut pendapat kami adalah “Sunnah” dengan dasar dari riwayat Rasulullah Saw sewaktu menunaikan ibadah haji, yaitu : “Dari Anas Ra, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Saw mengucapkan,”Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji.” (H.R. Muttafaq Alaih).
Jadi dengan berdasarkan pada riwayat Rasulullah Saw di atas dan merupakan riwayat yang shahih, maka dapatlah kami membuat letak hukum masalah melafadzkan niat ini adalah sunnah dan bukan wajib, karena dasar untuk dapat mewajibkannya tidak ada, tetapi jika sunnah ada sesuai dengan dasar karena perbuatan Nabi Saw di atas pada melafadzkan niat sewaktu ibadah hajinya, setiap perbuatan Nabi Saw adalah merupakan sunnah yang kita ikuti dan sudah tentu ada pahalanya, karena pada melafadzkan niat ini ada faedahnya, yaitu dapat mengurangi rasa was-was yang memang merupakan musuh utama manusia jika mau beribadah sebagaimana yang di terangkan Allah Swt pada Surah An-Nash serta dapat menambah kekhusyu’an dan menguatkan tujuan ibadah.
Niat ini sudah umum di lakukan oleh masyarakat apabila mau beribadah kepada Allah Swt, baik bila waktu hendak berwudhu’, akan shalat, puasa dan ibadah lain sebagainya, semua niatnya memakai lafadz sesuai arah dan tujuan ibadah yang di maksud sebagaimana contoh pada akan shalat di atas.
Niat bila dalam shalat tidaklah bisa menggantikan takbir, akan tetapi niat adalah bersamaan dengan takbir pelaksanaannya, bila ibadahnya shalat, maka takbiratul’ihram di lakukan serentak atau bersamaan dengan takbir, sebab takbir adalah rukun shalat yang wajib pada awal pelaksanaannya, maka niat dengan takbir adalah bersamaan mengerjakannya.
Bila hendak mendirikan shalat umpamanya, maka wajib memulai shalat tersebut dengan niat dalam hati bersamaan dengan mengucapkan secara lisan atau dengan lidah atau secara jihar takbiratul’ihram (Allahuakbar) secara bersamaan dengan niat, begitu yang di terangkan oleh Imam An-Nawawi, jadi niat dengan takbir dilakukan bersamaan dengan takbir.
Apa yang di ucapkan sebelum takbiratul’ihram itu walau bunyinya adalah niat shalat tertentu sebagaimana contoh di atas adalah bukan termasuk rukun shalat, tetapi adalah merupakan penguatan terhadap pekerjaan ibadah yang kita lakukan, namun bila saat mengangkat takbir tidak di sertai shalat, maka tidaklah baik niat yang sedemikian.
Masalah letak niat ini menurut madzhab selain dan Al-Imam As-Syafi’i adalah boleh mendahulukan membaca niat atas takbiratul’ihram dengan catatan waktunya sesingkat mungkin, madzhab hanabilah dalam hal ini memilih waktu niat tersebut dengan cara bersamaan untuk menghindari kesalahpahaman pada selang waktu niat.
Mengucapkan niat tidak di syaratkan, bacaan niat bukanlah merupakan suatu syarat dalam hal untuk memulai ibadah, termasuk pada shalat, puasa dan lain sebagainya, umpamanya melafadzkan niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian wajib shalat. Uraian ini menyatakan bahwa niat tempatnya di dalam hati, niat adalah amalan hati atau niat bersama hati.
Niat merupakan goresan kata dan tujuan atas sesuatu dan letaknya dalam hati, niat shalat di lakukan bersamaan dengan takbiratul’ihram, kalau umpamanya shalat, maka adalah merupakan bagian dari shalat, adapun melafadzkan niat adalah amalan lisan, yang hanya di lakukan sebelum takbiratul’ihram, artinya di lakukan sebelum masuk dalam bagian shalat dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat, juga maksudnya niat shalat tidaklah sama dengan melafadzkan niat.
Hukum letak melafadzkan niat ini menurut pendapat kami adalah “Sunnah” dengan dasar dari riwayat Rasulullah Saw sewaktu menunaikan ibadah haji, yaitu : “Dari Anas Ra, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Saw mengucapkan,”Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji.” (H.R. Muttafaq Alaih).
Jadi dengan berdasarkan pada riwayat Rasulullah Saw di atas dan merupakan riwayat yang shahih, maka dapatlah kami membuat letak hukum masalah melafadzkan niat ini adalah sunnah dan bukan wajib, karena dasar untuk dapat mewajibkannya tidak ada, tetapi jika sunnah ada sesuai dengan dasar karena perbuatan Nabi Saw di atas pada melafadzkan niat sewaktu ibadah hajinya, setiap perbuatan Nabi Saw adalah merupakan sunnah yang kita ikuti dan sudah tentu ada pahalanya, karena pada melafadzkan niat ini ada faedahnya, yaitu dapat mengurangi rasa was-was yang memang merupakan musuh utama manusia jika mau beribadah sebagaimana yang di terangkan Allah Swt pada Surah An-Nash serta dapat menambah kekhusyu’an dan menguatkan tujuan ibadah.
Posting Komentar untuk "MASALAH HUKUM NIAT DALAM BERIBADAH"
Terimakasih atas kunjungan anda...