CARA WUDHU RASULULLAH SAW
Sebelum kita bahas lebih lanjut sifat atau tata cara wudhu'nya Rasulullah Saw yang benar untuk di ikuti, maka dengan ini cara pelaksanaan wudhu' sesuai Al-Qur'an Surah Al-Maidah Ayat : 6 dan sunnah Rasulullah Saw, mengenai hal penyempurnaan wudhu' ini Rasulullah Saw bersabda,"Tidaklah seorang muslim beruwdhu', lalu dia menyempurnakan wudhu'nya, kemudian dia berdiri dalam shalatnya, dia mengetahui apa yang dia ucapkan (baca) kecuali dia pulang, maka dia seperti di hari di lahirkan oleh ibunya." (Hadist riwayat Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim). Dari Ustman bin Affan Ra, ia berkata Rasulullah Saw bersabda,"Barang siapa menyempurnakan wudhu' seperti yang Allah perintahkan, maka shalat fardhu yang lima adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antaranya." (Hadist riwayat An-Nasai dan Ibnu Majah). Dari Ustman bin Affan Ra, ia berkata Rasulullah Saw bersabda,"Tidaklah seseorang berwudhu' lalu dia membaguskan wudhu'nya, kecuali dia di ampuni antara wudhu' itu dan shalat yang lain sehingga dia menunaikannya." (Hadist riwayat Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Maka dapat di ringkas sebagai berikut. Hal - hal yang wajib dalam pelaksanaan berwudhu' ada enam perkara, yaitu :
1. Membasuh muka, termasuk berkumur - kumur dan menghirup air dengan hidung.
2. Membasuh kedua tangan (telapak) sampai siku.
3. Mengusap kepala, dan termasuk kedua telinga (membasuh kedua telinga jangan di pisahkan pelaksanaannya dengan mengusap kepala).
4. Membasuh kedua kaki, sampai mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (langsung antara membasuh anggota wudhu' yang satu dengan yang lainnya, dengan tidak di sela – sela pada waktu yang panjang atau di tunda kemudian pelaksanaannya dengan kegiatan atau pekerjaan yang lain, kecuali mengambil air untuk wudhu' anggota badan berikutnya. Pada zaman sekarang banyak yang melalaikan dan menyimpang cara wudhu'nya yang benar dan sesuai dengan nash (ajaran Rasulullah Saw), hal ini adalah suatu yang membahayakan bagi seseorang muslim dalam keabsahannya beribadah, di karenakan wudhu'nya tidak sempurna apalagi tidak tepat dan bahkan mengurang – ngurangi tertibnya dengan hanya sekedar atau asal – asalan saja yang mana jauh menyimpang dari riwayat tata cara wudhu'nya Rasulullah Saw, bahkan terkesan mengada – ngada (bid'ah).
Ingat! tiap sesuatu yang bid'ah (ibadah), maka tertolak dan itu adalah kesesatan yang nyata, maka dari itu dalam hal ini mari kita buka cara dan tertibnya Rasulullah Saw dalam berwudhu' dan hendaknya hal yang demikianlah untuk di ikuti, jika memang ada kesalahan dalam praktek wudhu' yang di lakukan, maka segeralah melakukan perbaikan dan pembenahan guna untuk mencapai keridhaan dari Allah Swt, berikut uraiannya :
KEUTAMAAN WUDHU'
Allah Swt mencintai orang - orang yang bersih, sebagaimana firman Allah Swt Q.S Al-Baqarah Ayat : 222, sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat Wudhu'' yang nampak pada wajah, kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad Saw pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi Saw : “Sesungguhnya umatku di panggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah - wajah, tangan - tangan dan kaki - kaki mereka karena bekas Wudhu'.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Wudhu'' dapat menghapuskan dosa - dosa dan kesalahan - kesalahan, sebagaimana sabda Nabi Saw : "Barang siapa yang berWudhu'' lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan - kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku – kukunya." (Hadits riwayat Muslim). Wudhu' bisa mengangkat derajat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang Allah menghapuskan kesalahan – kesalahan dengannya dan mengangkat derajat - derajat?” Para sahabat menjawab : “Tentu, Ya Rasulullah”, Beliau berkata : “Sempurnakanlah Wudhu' pada saat keadaan – keadaan yang di benci, dan perbanyaklah langkah menuju masjid - masjid dan setelah shalat tunggulah shalat berikutnya …”.(Hadits riwayat Muslim).
Dengan Wudhu' seseorang bisa masuk surga dari pintu - pintu surga yang dia sukai, sebagaimana sabda Nabi Saw : "Tidak ada seorang pun dari kalian yang berWudhu' lalu menyempurnakan Wudhu'nya, kemudian berkata : َ"Kecuali akan di bukakan baginya pintu - pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai." (Hadits riwayat Muslim).
HIKMAH WUDHU'
Inti dan ruh dari shalat adalah seorang hamba harus sadar, bahwa dia sedang berada di hadapan Allah Swt, agar fikiran bisa siap untuk itu dan bisa terlepas dari kesibukan – kesibukan duniawi, maka di wajibkanlah Wudhu' sebelum shalat karena Wudhu' adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan - kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan shalat.
Karena seseorang yang fikirannya sibuk dengan pekerjaan - pekerjaan perdagangan, industri dan sebagainya, jika kita katakan padanya “shalatlah!” maka dia akan merasa sulit dan berat untuk melaksanakannya, di sinilah (nampak jelas) hikmah Wudhu' karena membantu seseorang meninggalkan fikirannya yang sibuk dengan urusan - urusan duniawi, serta Wudhu' memberikan waktu yang cukup untuk memulai fikiran pada konsentrasi yang lain (yaitu shalat).
DEFINISI WUDHU'
Secara syar'i (terminologi) adalah "Menggunakan air yang tahur (suci dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut syari'at.
Cara Wudhu' Allah Swt berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Maidah Ayat 6 : "Hai orang - orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit[3] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[4] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
[3] Maksudnya sakit yang tidak boleh kena air.
[4] Artinya menyentuh, menurut jumhur ialah : Menyentuh, dan sedangkan sebagian mufassirin ialah : Menyetubuhi.
Dari Hadits Rasulullah Saw : Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari bapaknyaberkata : "Aku telah menyaksikan 'Amr bin Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang Wudhu'nya Nabi Saw, maka Abdullah bin Zaid Ra meminta tempayan kecil yang berisikan air, lalu dia berwudlu' sebagaimana Wudhu'nya Nabi Saw. Maka beliau pun memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumur – kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali dan langsung mengusap kedua daun telinganya satu kali juga tanpa mengambil air yang baru lagi, lalu kemudian beliau mencuci kedua kakinya. Dalam riwayat yang lain : Beliau memulai dengan (mengusap) bagian depan kepalanya hingga kebagian tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut hingga kembali ke tempat di mana beliau mulai (mengusap) lalu langsung mengusap kedua daun telinganya satu kali.
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat Wudhu' Nabi Saw adalah :
1. Berniat. hal ini sebagaimana telah di bahas bahwa niat adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bid'ah. Dan niat adalah syarat Wudhu' (dan ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga barang siapa yang berWudhu' dengan niat bukan untuk bertaqarrub kepada Allah Swt tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka Wudhu'nya tidak sah, karena Rasululah Saw bersabda "Sesungguhnya amalan - amalan itu tergantung niatnya." Namun menurut madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan berthaharah (termasuk juga ketika akan Wudhu') adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berWudhu' tanpa niat bertaqarrub pun sudah sah Wudhu'nya. Dan yang benar adalah pendapat jumhur ulama.
2. Membaca "Bismilah." Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, dari hadits Abu Hurairah Ra : "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berWudhu' dan tidak ada Wudhu' bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya." Hadits ini secara dhahir menunjukan bahwa membaca "bismillah" adalah syarat sah Wudhu'. Namun yang benar bahwa yang di nafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan Wudhu', terjadi khilaf di antara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya mengucapkan "bismilah" ketika akan berWudhu' Mereka berdalil dengan hadits ini, sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca "bismillah" ketika akan berWudhu' hukumnya hanyalah sunnah, tidak wajib. Dalil mereka adalah : Perkataan Imam Ahmad sendiri : "Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini", dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan Wudhu' Nabi Saw tidak menyebutkan "bismillah." Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari dhahir hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah) ke pendapat bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah pendapat Ad-Dzahiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan inilah (pendapat) yang benar Insya Allah. Dan ada juga hadits yang lain yaitu : Dari Anas berkata : "Sebagian sahabat Nabi Saw mencari air, maka Rasulullah Saw berkata : “Apakah ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka Nabi Saw meletakkan tangannya ke dalam air (tersebut) dan berkata :“BerWudhu'lah (dengan membaca) bismillah.” maka aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hinggapara sahabat seluruhnya berWudhu' hingga yang paling akhir dari mereka. Berkata Tsabit :”Aku bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka yang engkau lihat?, Beliau berkata : "Sekitar tujuh puluh orang." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca bismillah karena Rasulullah Saw menggunakan fiil amr. Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya ketika akan berWudhu' dan dia baru ingat di tengah dia berWudhu' atau bagaimana jika dia baru ingat setelah berWudhu'. Jawabnya : Jika dia ingat di tengah berWudhu', maka dia tidak perlu mengulangi Wudhu'nya tapi terus melanjutkan Wudhu'nya karena membaca "bismillah" bukan merupakan syarat Wudhu'. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai berWudhu' maka Wudhu'nya sah, karena Allah Swt tidak membebani apa yang tidak di sanggupi oleh umatnya.
3. Berkumur - kumur (tamadlmudl) dan beristinsyaq, hal ini terjadi khilaf di antara para Ulama : Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur – kumur dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang (sepuluh dari sunnah para nabi), di antaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib namun pendalilan ini sangat lemah. Yang di maksud dengan sunnah dalam hadits adalah "thariqah (jalan)" bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika di kerjakan mendapatkan pahala dan jika di tinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah istilah yang baru. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur - kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil - dalil mereka : Nabi Saw senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi Saw akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukan akan bolehnya. Allah Swt berfirman (Dan cucilah wajah - wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah Swt. Adanya hadits - hadits yang menunjukan akan wajibnya, adalah hadits Abu Hurairah Ra yang di riwayatkan oleh Imam Muslim "Barangsiapa yang berWudhu' hendaklah dia beristinsyaq" Dan juga hadits yang di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruqutni dari hadits Laqith bin Sabrah, bahwasanya Nabi Saw bersabda : "Jika engkau berWudhu' maka berkumur – kumurlah." Dan setelah beristinsyaq hendaknya melakukan beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung).
4. Mencuci wajah. Hukumnya adalah wajib, dan definisi wajah secara syar'i tidak di jelaskan oleh syari'at, oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqabalah (saling berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal). Dan bagi yang punya jenggot, ini dasarnya dari Hadits Rasulullah Saw : Dari Utsman Ra berkata : "Sesungguhnya Nabi Saw menyela - nyela jenggotnya ketika berWudhu'. (Hadits riwayat At-Tarmidzi). Dan juga hadits Anas Ra : Bahwasanya Nabi Saw jika berWudhu' beliau mengambil segenggam air (dengan tangannya) lalu beliau emasukkannya di bawah mulutnya kemudian eliau menyela - nyela jenggot dengannya. Dan beliau berkata : "Demikianlah Rabbkuَ memerintah aku." Menyela - nyela jenggot ada dua hukum atau cara : Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela - nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal jenggot· Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela - nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib di cuci karena dia merupakan perpanjangan wajah.
5. Mencuci kedua tangan. Di cuci dari ujung - ujung jari hingga ke siku tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri. Apakah siku ikut di cuci atau tidak? Allah Swt berfirman : (Dan cucilah) tangan - tangan kalian hingga ke siku – siku, adapun dalam permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan adanya qarinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu. Di antaranya : Dari Jabir Ra berkata : "Adalah Nabi Saw jika berWudhu', beliau memutar air ke kedua sikunya." (Di riwayatkan oleh Ad-Daruqutni). Ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Hurairah Ra, bahwa Abu Hurairah Ra berWudhu' maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rasulullah Saw berWudhu." (Hadits riwayat Muslim). Apakah di sunnahkan mencuci tangan hingga ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Hurairah Ra? Untuk masalah ini (memanjangkan daerah Wudhu' hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf di kalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini di sunnahkan. Imam Nawawi berkata : "Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan keda mata kaki." Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah Ra juga pada dalam riwayat yang lain : Dari Abu Hurairah Ra berkata : "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : "Sesungguhnya umatku di panggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah - wajah, tangan - tangan dan kaki – kaki mereka karena bekas Wudhu', maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan gurrahnya dan tahjilnya maka lakukanlah." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak di sunnahkannya hal ini (memanjangkan Wudhu' melewati tempat yang yang di wajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan juga di pilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Adurrahman As-Sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Al-Albani. Dalil mereka adalah : Seluruh sahabat yang mensifatkan Wudhu' Nabi Saw tidak menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki. Dalam ayat (Surah Al-Maidah Ayat : 6) tempat anggota Wudhu' hanya di batasi pada siku dan dua mata kaki. Adapun perkataan : "Barang siapa yang mampuuntuk memanjangkan, dst…..", ini bukanlah perkataan Rasululah Saw, tetapi merupakan mudraj (tambahan perkataan) dari Abu Hurairah Ra. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu'aim Al-Mujmiri perawi hadits ini berkata : "Aku tidak tahu perkataan ("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrahnya hendaklah dia melakukannya") merupakan perkataan Rasulullah Saw atau perkataan Abu Hurairah Ra. Berkata Ibnul Qayyim : "Tambahan ini adalah mudraj dari perkataan Abu Hurairah Ra dan bukanlah dari perkataan Nabi Saw, hal ini telah di jelaskan oleh banyak Hafiz." Bahkan dalam suatu hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim, beliau berkata : "Aku di belakang Abu Hurairah Ra dan dia sedang berWudhu' untuk shalat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya : "Wahai Abu Hurairah, Wudhu' apa ini?", maka beliau berkata : "Wahai Bani Farrukh, apakah engkau di sini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berWudhu' seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi Saw) bersabda : "Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya Wudhu'. Hadits ini jelas menunjukan bahwa Wudhu' yang di lakukan oleh Abu Hurairah Ra hanyalah ijtihad beliau Ra saja. Kalau kita terima bahwa hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi di sebut gurrah. Karena yang namanya gurrah hanyalah di wajah saja. Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Hurairah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda : (Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) Wudhu'nya. (Riwayat Muslim). Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah di pakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
6. Mengusap kepala dan dua daun telinga. Caranya sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup di usap tidak boleh di cuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi perintah Nabi Saw. Allah Swt mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkan mengusap tidak. Dan di sunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shahih dari Utsman Ra bahwasanya Nabi Saw pernah mengusap kepalanya tiga kali. Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi'i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi Saw pernah hanya mengusap ubun - ubun beliau ketika berWudhu'. Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam hadits - hadits yang shahih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : "Tidak di nukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi Saw mencukupkan membasuh sebagian kepala." Berkata Ibnul Qayyim : "Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shahih bahwa Nabi Saw pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala." Dan inilah pendapat yang benar, karena Nabi Saw mengusap ubun - ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits : Dari Mugirah bin Syu'bah bahwasanya Nabi Saw berWudhu'' lalu beliau mengusap ubun - ubunnya dan atas sorbannya dan kedua khufnya." (Riwayat Muslim) Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan : 1. Nabi Saw pernah hanya mengusap sorbannya dan pernah hanya mengusap kepalanya di mulai dari ubun - ubunnya. 2. Nabi Saw mengusap ubun - ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. Dan dalam mengusap kepala di sertai dengan mengusap kedua telinga, ini sesuai dengan hadits dari Abdillah bin 'Amr Ra tentang sifat Wudhu' Rasulullah Saw, dan ia berkata : "Kemudian Nabi Saw mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya." (Hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa'i). Dan juga hadits dari Ibnu Abbas Ra : "Sesungguhnya Nabi Saw mengusap kepalanya dan kedua telinganya baik bagian luar maupun yang bagian dalam." (Hadits riwayat At-Tarmidzi). Dan ketika mengusapnya tidak lagi mengambil air wudhu' yang baru. Berkata Ibnul Qayyim : "Tidak ada riwayat yang tsabit dan shahih dari Nabi Saw bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinganya." Inilah yang shahih riwayat hadist mengenai hal ini, yaitu bahwasanya Nabi Saw mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk mencuci) kedua tangannya. Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena termasuk dari keumuman perintah dalam ayat, dan telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, 'urf, mapun syar'i). Hikmah di usapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa - dosa yang telah di lakukan oleh telinga, namun lakukan dengan benar dalam hal cara mengusap kedua daun telinga tersebut tanpa membuat – buat hukum yang baru (bid'ah) di luar tata cara wudhu'nya Rasulullah Saw seperti yang telah di riwayatkan oleh para sahabat beliau yang menyaksikan langsung cara Rasulullah Saw berwudhu'.
7. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang kiri. Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah Swt (Dan kaki - kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung – ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki, sebagaimana di sebutkan dalam ayat. Dan ini telah di sepakati oleh Ahlus sunnah waljama'ah. Kalaulah boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi Saw dari Abdullah bin Amr Ra, ia berkata : "Rasulullah Saw ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami) beliau mendapati kami (dan ketika itu) telah datang waktu shalat yaitu shalat ashar, kami sedang berWudhu', maka kami mengusap kaki – kaki kami. Lalu Rasulullah Saw berteriak kepada kami dengan suaranya yang keras : "Celakalah tumit - tumit (yang tidak terkena air Wudhu') dengan api." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air. Dan mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana di jelaskan oleh hadits Abu Hurairah Ra : "Abu Hurairah berWudhu' maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rasulullah Saw berWudhu'" (Hadits riwayat Muslim). Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma di usap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas. Perlu di ingat ketika mencuci kaki di sunnahkan untuk mencela jari - jari kaki dan juga jari – jari tangan, sebagaimana hadits dari Laqith bin Sabrah Ra, ia berkata : "Rasulullah Saw bersabda : "Sempurnahkanlah Wudhu' dan sela - selalah jari - jari dan bersungguh – sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa." (Hadits Ibnu Khuzaimah). Adapun menyela jari - jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa di katakan sunnah Nabi Saw. Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad : "Aku melihat Nabi Saw berWudhu' dan dia menggosok jari - jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya." Kalau riwayat ini benar, maka sesungguhnya Nabi Saw hanya melakukannya sekali - kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak di riwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan Wudhu' Nabi Saw seperti pada hadits dari Utsman Ra, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah.
8. Membaca do'a setelah Wudhu'. Yaitu sebagaimana yang di sebutkan dalam hadits : "Tidak ada seorang pun dari kalian yang berWudhu', lalu menyempurnakan Wudhu'nya, kemudian berkata : َ "Kecuali akan di bukakan baginya pintu - pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai." (Hadits riwayat Muslim). Dan juga tambahan yang di riwayatkan oleh At-Tarmidzi : "Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang – orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang - orang yang bersih."
SYARAT - SYARAT WUDHU'
1. Niat, ini ada khilaf tentang pelaksanaannya antara jumhur dan Hanafiyah, lihat sebagaimana pada keterangan di atas.
2. Air yang di gunakan harus tahur (suci dan mensucikan), maka tidak sah berWudhu' dengan air yang najis.
3. Air yang di gunakan harus air yang halal (ada khilaf dalam masalah ini). Sehingga tidak sah berWudhu' dengan air curian.
4. Menghilangkan hal - hal yang bisa menghalangi sampainya air ke kulit. Dalilnya adalah : Hadits Khalid bin Mi’ dan bahwasanya Nabi Saw melihat seorang laki - laki yang pada kakinya ada seukuran dirham yang tidak terkena air (Wudhu'), maka Nabi Saw memerintahkan laki - laki tersebut untuk mengulangi Wudhu' (Hadits Abu Dawud dan ada tambahannya, yaitu Nabi Saw memerintahkannya untuk mengulangi shalat).
5. Jika seseorang selesai dari buang hajat (hadast/hajat besar dan kecil), maka dia harus bersuci dahulu sebelum berWudhu'.
RUKUN - RUKUN WUDHU'
Rukun - rukun yang di sepakati ulama berdasarkan pada riwayat yang shahih, ada empat yaitu :
· Mencuci wajah;
· Mencuci tangan;
· Mengusap kepala;
· Mencuci kedua kaki.
Sedangkan rukun - rukun yang jadi dan di perselisihkan ulama, antara lain :
6. Tertib. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah tertib dalam Wudhu' hanyalah sunnah muakkad dan tidak fardlu. Sedangkan menurut Hanabilah dan Syafi'iyah tertib dalam Wudhu' adalah fardlu, dengan dalilnya sesuai dengan hadits Nabi Saw, yakni "Mulailah dengan apa yang di mulai oleh Allah Swt", (Hadits riwayat Muslim). Walaupun hadits ini tentang masalah haji, yaitu berkaitan dengan firman Allah Swt memasukkan yang di usap di antara hal - hal yang di cuci. Dan hal ini telah keluar dari qaidah balaghah. Dan tidak ada faedah yang bisa di peroleh dari hal ini kecuali tertib, oleh karenanya, barang siapa yang berWudhu' dengan tidak tertib maka Wudhu' tidak sah. Adapun tertib antar selain empat anggota yang di sebutkan dalam ayat, maka hukumnya sunnah berdasarkan ijma', misalnya antara berkumur – kumur dan beristinsyaq dengan wajah, antara kaki kanan dengan kaki kiri, tangan kanan dengan tangan kiri, dan antara kepala dan telinga, sebab pada hakikatnya contoh - contoh ini merupakan satu anggota tubuh, yaitu para ulama menganggap kaki kanan dan kaki kiri sebagai satu anggota tubuh. Jika seorang berWudhu' tanpa tertib (walaupun karena lupa), maka Wudhu'nya tidak sah karena Wudhu' adalah satu kesatuan sebagaimana shalat. jika seseorang sujud sebelum ruku' kemudian baru ruku' maka shalatnya tidak sah walaupun dia dalam keadaan lupa.
7. Muwalah. Maksudnya dengan muwalah adalah bersambungan, yaitu Wudhu' harus di lakukan bersambungan jangan terpisah hingga anggota tubuh yang sebelumnya kering. Menurut Hanafiyah dan Syafi'iah, muwalah adalah hukumnya sunnah tidak wajib. Namun menurut Malikiyah dan Hanabilah hukumnya adalah fardlu, sebab adanya hadits dari Khalid bin Mi'dan, kalau seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi Saw tidak memerintahkan laki - laki tersebut untuk mengulangi Wudhu'nya, tetapi cukup di sempurnakan saja. Nabi Saw senantiasa melakukannya qiyas dengan shalat, karena shalat itu harus muwalah, kalau shalat terpisah dengan pembicaraan, maka batal kewajiban - kewajiban Wudhu', kewajiban Wudhu' cuma ada satu, (namun ini di perselisihkan oleh para ulama), yaitu membaca bismillah ketika akan berWudhu'.
SUNNAH - SUNNAH WUDHU'
Wudhu' memiliki susunan dan tata cara yang merupakan sunnah - sunnah, yaitu :
1. Bersiwak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw,"Kalau bukan karena akan memberatkan umatku, maka akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan berWudhu'." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
2. Mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan (siku), sebelum berWudhu'.
3. Mencuci anggota - anggota Wudhu' sebanyak tiga kali. (sedangkan mengusap kepala yang di lakukan Nabi Saw adalah sekali).
4. Nabi Saw berWudhu' tiga - tiga kali, dan hadits mengenai ini banyak, demikian pula telah tsabit, bahwa Nabi Saw dua - dua kali, dan juga telah tsabit bahwa Nabi Saw pernah berWudhu' sekali – sekali. Dan juga telah tsabit, bahwasanya Nabi Saw berWudhu', sebagian anggota tubuhnya tiga kali dan sebagian yang lain dua kali.
5. Menyela - nyela jenggot yang tebal.
6. Menyela - nyela jari - jari kaki dan jari - jari tangan.
7. Menggosok (Dalk), maksudnya dengan dalk, yaitu menggosok anggota Wudhu' (yang telah terkena air) dengan menggunakan tangan (sebelum anggota Wudhu' tersebut kering). Dan yang di maksud dengan tangan di sini adalah telapak (bagian dalam) tangan, oleh karena itu tidak cukup mendalk kaki dengan menggunakan kaki lainnya. Menurut jumhur ulama hukum dalk adalah sunnah karena tidak di sebutkan dalam ayat. Sedangkan menurut Malikiyah adalah wajib. Dalil mereka adalah : "Sesungguhnya mencuci yang di perintahkan dalam ayat tidaklah bisa terwujud kecuali dengan dalk, sedangkan hanya sekedar terkena air tidaklah di anggap sebagai satu cucian. Dan yang di contohkan oleh Nabi Saw adalah dengan dalk (menggosok) sebagaimana dalam hadits Dari Abdullah bin Zaid Ra berkata : "Bahwasanya Nabi Saw di datangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau mendalk (menggosok) kedua lengannya." (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah). Tetapi pendapat jumhur yang lebih kuat, adalah sebab yang di perintahkan oleh Allah Swt hanyalah mencuci, bukan menggosok, sedangkan sekedar perbuataan Nabi Saw tidak bisa menunjukkan akan wajib, tetapi jika air tidak bisa menyentuh kulit, kecuali dengan di gosokkan, maka hukum dalk adalah wajib.
8. Mendahulukan tangan kanan daripada yang kiri dan kaki kanan daripada kaki kiri. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah Ra : "Jika kalian berWudhu' maka mulailah dengan bagian kanan kalian." (Hadits riwayat Imam Ahmad, Baihaqi, Thabrani dan Ibnu Hibban).
9. Berdo'a setelah berWudhu'.
10. Menggunakan air Wudhu' dengan hemat (jangan mubazir), yang afdhal adalah berWudhu' tiga - tiga kali, namun tidak boros dan berlebih - lebihan dalam menggunakan air, baik ketika Wudhu' maupun ketika mandi, walaupun di sebuah sungai atau laut. Sebagaimana dalam hadits dari 'Aisyah Ra, bahwasanya Rasulullah Saw mandi janabah dengan satu ina', (yaitu satu farq). (Hadits riwayat Muslim). Berkata Sofyan mengenai hal ini, satu farq adalah tiga saq. Dan Nabi Saw pernah berWudhu' dengan dua per tiga mud, sebagaimana riwayat hadits dari Abdullah bin Zaid Ra berkata : "Bahwasanya Nabi Saw di datangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau mendalk (menggosok) kedua lengannya." (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah). Berkata Imam Bukhari : "Nabi Saw telah menjelaskan bahwa wajibnya Wudhu' adalah sekali - sekali, dan Nabi Saw juga pernah berWudhu' dua kali - dua kali dan tiga kali – tiga kali dan Nabi Saw tidak menambah lebih dari tiga kali." Para ahli ilmu membaca berlebih - lebihan dan melebihi perbuatan Nabi Saw." Oleh karena itu hendaknya berhemat dalam berwudlu' dan sesuai dengan sunnah Nabi Saw. Dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya berkata : "Seorang arab badui datang kepada Nabi Saw, maka Nabi Saw memperlihatkannya Wudhu' dengan tiga kali - tiga kali, kemudian Nabi Saw berkata : "Demikianlah Wudhu', maka barang siapa yang menambah lebih dari ini (lebih dari tiga kali), maka dia telah berbuat jelek dan melampaui batas dan berbuat dzalim." (Hadits riwayat A-nNasai). Dan dari Abdullah bin Mugaffal Ra, bahwasanya beliau mendengar Nabi Saw berkata : "Sesungguhnya akan ada pada umat ini suatu kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo'a." (Hadits riwayat Abu Dawud).
HAL – HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU'
Jika terdapat salah satu dari pembatal - pembatal wudhu' ini, dan maka seseorang telah batal Wudhu'nya, yaitu :
1. Segala yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Dan yang termasuk dalam hal ini ialah : Buang air besar dan buang air kecil, dalilnya firman Allah Swt "Atau salah seorang di antara kalian buang air besar." Dan sabda Rasulullah Saw, "Tetapi karena buang air besar dan buang air kecil dan tidur." Buang angin juga batal, dengan dalilnya adalah dari hadits Abdullah bin Zaid Ra, bahwasanya di adukan kepada Nabi Saw ada seorang yang di khayalkan bahwasanya dia mendapatkan sesuatu (merasa telah buang angin) dalam shalatnya, maka Nabi Saw bersabda : "Janganlah dia berpaling (keluar dari shalatnya) sampai dia mendengar bunyi (kentut)nya atau sampai dia mencium baunya." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Demikian pula ketika Abu Hurairah Ra di tanya oleh seorang laki - laki dari Hadramaut : "Apakah yang di maksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?" (yaitu hadats yang di sebutkan dalam hadits : "Sesungguhnya Allah tidak akan menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats hingga dia berWudhu." Maka Abu Hurairah Ra berkata : "Kentut yang tidak bersuara dan kentut yang bersuara." (Di riwayatkan Bukhari dan Muslim). Namun terjadi khilaf di antara para ulama, bagaimana jika ada angin yang keluar dari depan (dari kemaluan), yang hal ini kadang terjadi pada kaum wanita? Hanafiyah berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan Wudhu'. Sedangkan selain Hanafiyah menyatakan tetap batal sesuai dengan keumuman nada suatu hadits ini : "Tidak ada Wudhu'' kecuali karena bunyi atau angin." (Hadits riwayat At-Tarmidzi dan Ibnu Majah). Ibnu Qudamah berkata : "Kami tidak mengetahui adanya wujud angin ini, kami tidak mengetahui adanya angin ini pada seseorang." , namun yang benar angin seperti ini ada wujudnya dan kadang – kadang menimpa para wanita.
2. Madzi (air jernih dari kemaluan, dan bukan mani), sesuai dengan Hadits Ali Ra, beliau berkata : "Aku adalah seorang yang sering keluar madzi dan aku malu untuk bertanya (tentang masalah ini) kepada Rasulullah Saw, karena kedudukan anak beliau." Maka akupun memerintahkan Miqdad bin Aswad (untuk menanyakan hal ini kepada beliau), maka beliau berkata : "Dia cuci dzakarnya dan dia berWudhu." (Di riwayatkan Bukhari dan Muslim).
3. Darah istihadlah, sesuai dengan hadits 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah Saw berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy yang beristihadlah : "BerWudhu'lah setiap kali shalat." (Hadits Bukhari dan Muslim). Berkata An-Nawawi : "Maka yang keluar dari qubul atau dubur laki - laki atau perempuan membatalkan Wudhu', sama saja baik ia buang air besar, buang air kecil, angin, dari dalam perut seperti, ulat, cacing, dan sebagainya, nanah, darah, atau batu kecil, atau lainnya." Dan tidak ada perbedaan dalam hal tersebut antara yang biasanya terjadi maupun yang jarang terjadi. Sedangkan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti nanah, darah, dan muntah maka tidak membatalkan Wudhu'. Dan inilah pendapat Malikiyah dan Syafi'iyah dengan dalil bahwa Nabi Saw pernah berbekam namun beliau tidak berWudhu'. Mereka juga berdalil dengan kisah ketika ada seorang sahabat Ansar yang shalat pada malam hari, lantas kakinya terkena tiga anak panah musuh sehingga mengalir darah dan dia tetap ruku dan sujud melanjutkan shalatnya. (hadist riwayat Abu Dawud). Ada pendapat yang menyatakan bahwa muntah membatalkan Wudhu'. Dengan dalilnya adalah : 1. Bahwasanya Nabi Saw muntah dan beliau berWudhu'. 2. Muntah itu adalah sisa - sisa yang keluar dari badan, maka dia mirip dengan kencing dan tahi. Namun ini adalah pendapat yang lemah sebab yang di lakukan oleh Nabi Saw hanyalah sekedar fi'il dan tidak menunjukan wajib.
4. Tidur, kisah dari Anas bin Malik Ra, berkata : "Adalah para sahabat Rasulullah Saw di masa Rasulullah Saw menunggu shalat isya' hingga terangguk – angguk kepala mereka, kemudian mereka shalat tanpa berWudhu'. (Hadits riwayat Abu Dawud dan Muslim). "Sungguh aku telah melihat para sahabat Rasulullah Saw di bangunkan untuk shalat, hingga aku sungguh mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun lalu shalat dan mereka tidak berWudhu." (Hadist riwayat At-Tarmidzi). Ibnul Mubarak berkata : "Ini menurut kami, mereka (tidur) dalam keadaan duduk." Ada khilaf di antara para ulama tentang masalah ini, yaitu pendapat pertama ini merupakan pendapat Abu Musa Al-'Asyari Ra, Ibnu Umar Ra, dan Ibnul Musayyib, "Baik tidurnya banyak ataupun sedikit tidaklah membatalkan Wudhu' selama belum di pastikan timbulnya hadats, karena tidur itu bukanlah pembatal tetapi hanyalah tempat kemungkinan terjadinya hadats. Dan tidak bisa di katakan batal kecuali sampai yang tidur tersebut yakin bahwa dia berhadats. Para sahabat yang di sebutkan dalam hadits di atas sampai ada yang mendengkur (tidurnya lelap), namun bangun dari tidur dan langsung shalat tanpa Wudhu'. Pendapat kedua (jumhur) : "Jika tidurnya banyak, maka membatalkan Wudhu', namun tidur yang sedikit tidak membatalkan Wudhu'. Dan mereka (jumhur) memiliki perincian tentang ciri - ciri tidur yang sedikit tersebut yang di sebutkan dalam kitab - kitab fiqh. Di antaranya seperti tidur dalam keadaan duduk (atau dalam keadaan sujud). Karena dalam hadits di atas di sebutkan bahwa hingga kepala - kepala para sahabat terangguk - angguk. Dan ini tidaklah terjadi kecuali mereka tidur dalam keadaan duduk (sebagaimana perkataan Ibnul Mubarak). Dan seseorang yang tidur dalam keadaan duduk, dia tidak bisa buang angin kecuali dengan mengerakkan badannya ke kanan atau ke kiri. Dan jika tidurnya lelap dan tidak dalam keadaan duduk maka batal sebagaimana hadits Rasulullah Saw dari jalan Sofwan bin 'Asal Ra berkata : "Adalah Nabi Saw memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf - khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah di lepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur."(Hadits riwayat Ahmad, An-Nasai, dan At-Tarmidzi). Pendapat ketiga, ini adalah pendapat Ibnu Hazm, bahwasanya tidur membatalkan Wudhu' secara mutlaq baik tidurnya sedikit maupun tidurnya banyak. Mereka berdalil dengan hadits Sofwan bin 'Asal Ra di atas yang menunjukan bahwa tidur membatalkan Wudhu' secara mutlaq karena Rasulullah Saw tidak memperincinya. Demikian pula dengan hadits : Dari Mu'awiyah berkata : Rasulullah Saw bersabda : "Mata adalah pengikat lingkaran dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya dia berWudhu'." Dan pendapat yang ketiga inilah yang rajih dan yang telah di pilih, bantahan terhadap pendapat kedua : yaitu adanya riwayat yang lain dari Abu Dawud dengan sanad yang shahih : "Adalah para sahabat Rasulullah Saw membaringkan lambung - lambung mereka, lalu mereka tidur, maka di antara mereka ada yang berWudhu' dan ada yang tidak berWudhu'." Dan lafal ini membaringkan lambung – lambung mereka, bertentangan dengan lafal terangguk - angguk kepala mereka, yang menunjukan mereka tidur dalam keadaan duduk. Oleh karena itu kita katakan hadits ini mudtarib, sehingga tidak bisa di jadikan sebagai hujjah, atau kita jama'kan dua lafal ini, yaitu sebagian mereka para sahabat tidur dalam keadaan duduk dan sebagian yang lain dalam keadaan berbaring, sebagian sahabat ada yang berWudhu' dan sebagian yang lain tidak, dan penjama'an ini lebih benar. Dengan demikian maka ini merupakan dalil bagi yang mengatakan bahwa tidur tidaklah membatalkan Wudhu' secara mutlak (yaitu pendapat jumhur). Namun ini bertentangan dengan hadits Sofwan bin 'Asal Ra yang marfu' kepada Nabi Saw yang lebih rajih dan shahih daripada hadits Anas Ra ini yang mauquf. Dan bisa jadi juga hadits Anas Ra ini sebelum di wajibkannya berWudhu' karena tidur. Bantahan terhadap pendapat pertama : Pendapat bahwa tidur bukanlah pembatal Wudhu' tetapi tempat kemungkinan timbulnya hadats, maka kita katakan : Ketika perkaranya demikian, maka Nabi Saw memerintahkan semua orang yang tidur untuk berWudhu', walaupun tidur dalam keadaan duduk, karena Nabi Saw mengabarkan bahwa mata adalah pengikat lingkaran dubur, jika mata tertidur maka lepaslah ikatan itu, dan orang yang tidur dalam keadaan duduk, telah terlepas ikatannya walaupun dalam sebagian keadaan, misalnya dia miring ke kiri atau ke kanan. Dan inilah pendapat Ibnu Hazm dan Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Salam tentang riwayatnya yang bagus yang di hikayatkan oleh Ibnu Abdil Bar, beliau (Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Salam) berkata : "Aku berfatwa bahwa barang siapa yang tidur dalam keadaan duduk, maka tidak wajib Wudhu' baginya, sehingga pada suatu hari jum'at ada seorang laki - laki yang duduk di sampingku dan dia tidur, lalu dia buang angin. Maka aku berkata : "Berdiri dan berWudhu'lah", dia berkata : "Aku tidak tidur", Aku berkata : "Bahkan engkau telah buang angin yang membatalkan Wudhu'!", Maka diapun bersumpah dengan nama Allah Swt, bahwa dia tidak buang angin dan berkata kepadaku : "Justru engkau yang buang angin." Maka hilanglah apa yang aku yakini tentang tidurnya orang yang duduk (tidak membatalkan Wudhu'), dan aku meyakini bahwa orang yang tidur dan hatinya telah tidak sadar (maka membatalkan Wudhu', meskipun dalam keadaan duduk). Namun perlu di perhatikan, bahwa tidur dan ngantuk berbeda. Tidur menutup hati untuk mengetahui keadaan hal - hal yang dzahir, sedangkan ngantuk memotong hati untuk mengetahui hal - hal yang batin (adapun yang dzahir masih di kenali). Dan orang yang ngantuk tidak di wajibkan Wudhu' bagaimanapun berat ngantuk tersebut, karena orang yang ngantuk masih bisa merasakan jika dia buang angin. Kehilangan akal, yaitu hilangnya akal (tidak sadar) dengan cara apapun seperti gila, pingsan, dan mabuk karena orang yang dalam keadaan demikian tidak mengetahui apakah Wudhu'nya batal atau tidak. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Jika tidur membatalkan Wudhu' maka pingsan dan gila lebih membatalkan lagi.
5. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang, Untuk masalah ada empat pendapat di kalangan para ulama. Pendapat pertama : Tidak batal Wudhu'nya walaupun dengan syahwat, dalilnya hadits Dari Talq bin Ali Ra berkata : "Seorang laki - laki berkata : “Aku telah menyentuh kemaluanku”, atau beliau berkata : "Seorang laki - laki menyentuh kemaluannya dalam shalat, apakah atasnya Wudhu'?” Maka Nabi Saw menjawab : "Tidak, dia hanyalah bagian dari tubuh engkau." Pendapat kedua : Batal Wudhu'nya walaupun tanpa syahwat, dalilnya hadits : Dari Busrah binti Shafwan Ra, ia berkata : "Adalah Rasulullah Saw berkata : “Barang siapa yang menyentuh dzakarnya, maka hendaklah dia berWudhu'." Sedangkan hadits Talq di atas ada lafal (menyentuh kemaluannya dalam shalat), tidak batal Wudhu'nya karena dia menyentuhnya dengan penghalang, sebab bukan tempatnya orang menyentuh kemaluannya dalam shalat tanpa penghalang. Dan tambahan lagi, hadits Talq di atas, di perselisihkan oleh para ulama akan keshahihannya. Pendapat ketiga : Batal kalau dengan syahwat. Pendapat ketiga ini menjama'kan dua pendapat di atas. Hadits Talq kita bawakan untuk sentuhan tanpa syahwat, sedangkan hadits Busrah kita bawakan untuk sentuhan dengan syahwat. Perkataan Rasulullah Saw bahwa dia hanyalah bagian dari tubuh engkau, ini adalah menunjukan Rasulullah Saw mengisyaratkan “Karena sesungguhnya engkau telah menyentuh kemaluanmu tanpa syahwat, maka seakan - akan engkau seperti menyentuh anggota - anggota tubuh yang lain. Namun jika engkau menyentuhnya dengan syahwat, maka batal Wudhu'mu karena ‘illahnya ada”. Pendapat keempat : Hanya di sunnahkan untuk berWudhu' walaupun menyentuhnya dengan syahwat. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebab di sebutkan dalam lafal hadits Talq َapakah atasnya Wudhu'?, maksudnya yaitu “apakah wajib baginya Wudhu'?”, maka Rasulullah Saw menjawab : ”Tidak”, sebab hukumnya Cuma sunnah. Jadi perintah Wudhu' yang ada pada hadits Busrah hanyalah sunnah, dan tidak wajib. Namun pendapat ini terbantah karena ada hadits lain yang jelas menunjukan wajibnya berWudhu', yaitu hadits dari : Dari Abu Hurairah Ra berkata : Rasulullah Saw bersabda : “Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya dan tidak ada hijab dan juga penutup antara tangannya dan farjinya tersebut, maka wajib atasnya Wudhu'. Nah, kesimpulannya adalah, sebagaimana perkataan Syaikh Utsaimin : “Seseorang jika menyentuh kemaluannya (dengan syahwat atau tanpa syahwat), maka di sunnahkan agar dia berWudhu'. Namun pendapat akan wajibnya (berWudhu' jika menyentuh dengan syahwat) sangat kuat, namun saya tidak memastikan hal ini. Namun hati – hatilah hendaknya dia berWudhu'." Apakah hukum menyentuh dubur sama dengan menyentuh kemaluan? Hukumnya adalah sama, karena dubur masuk dalam dengan keumuman lafal hadits Abu Ayub Ra dan Ummu Habibah, yaitu "Barang siapa yang menyentuh farjinya (secara bahasa farj artinya lubang) maka hendaklah dia berWudhu'. Dan juga hadits Abu Hurairah Ra di atas. Dari hadits Abu Hurairah Ra di atas bisa di ambil mafhum mukhalafah bahwa, jika menyentuhnya tidak dengan menggunakan tangan dari jari - jari hingga ke pergelangan tangan, namun madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa tidaklah membatalkan Wudhu' kecuali jika menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Sehingga menurut beliau menyentuh kemaluan dengan punggung tangan tidaklah membatalkan Wudhu'. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah Ra yang menunjukan penyentuhan dengan telapak tangan. Namun pendapat ini di bantah oleh Ibnu Hazm dan juga Ibnu Hajar, sebab maknanya adalah sampai, dan ini lebih umum bisa sampai ke kemaluan dengan telapak tangan atau dengan punggung tangan.
6. Menyentuh wanita, mengenai hal ini ada khilaf di antara para ulama, Pendapat pertama : Batal Wudhu'nya jika menyentuhnya dengan syahwat. Dalilnya adalah bahwasanya syahwat adalah memungkinkan timbulnya hadats. Dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) di sebutkan bahwa Nabi Saw pernah shalat, dan Nabi Saw menyentuh kaki ‘Aisyah ketika Nabi Saw akan sujud. Dan ‘Aisyah juga pernah menyentuh Rasulullah Saw yang sedang sujud shalat, beliau berkata : "Aku kehilangan Rasulullah Saw pada suatu malam, maka akupun mulai mencarinya dengan kedua tanganku, maka tanganku berada (menyentuh) pada kedua kakinya yang tegak dan beliau dalam keadaan bersujud." (Hadits riwayat Muslim dan An-Nasai). Dan Rasulullah Saw tidak membatalkan shalatnya. Kalau seandainya sekedar menyentuh wanita tanpa syahwat membatalkan Wudhu', tentu Rasulullah Saw sudah membatalkan shalatnya ketika itu. Batalnya Wudhu' hanya dengan sekedar menyentuh sangat menyulitkan, apalagi jika seseorang mempunyai ibu yang telah tua dan anak pamannya. Pendapat kedua : Batal Wudhu'nya walaupun menyentuh wanita tanpa syahwat, dalilnya : Firman Allah Swt (..atau menyentuh para wanita..), dan Allah Swt tidak metaqyidnya dengan syahwat. Adapun Nabi Saw menyentuh kaki ‘Aisyah mungkin saja karena ada kain penghalangnya (jadi tidak menyentuhnya langsung) atau mungkin beliau menyentuh dengan kukunya. Pendapat ketiga : Tidak batal Wudhu' secara mutlaq, walaupun menyentuh wanita dengan syahwat bahkan walaupun farji menyentuh farji. dalilnya adalah : Hadits dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi Saw pernah mencium sebagian istri - istrinya, kemudian beliau keluar untuk shalat tanpa berWudhu'. Adapun jawaban terhadap pendapat pertama dan yang kedua adalah bahwasanya yang di maksud dengan “menyentuh” dalam ayat, itu adalah maksudnya “berjima'” dan ini merupakan tafsir Ibnu Abbas Ra. Selain itu Allah Swt berfirman Al-Maidah Ayat 6 : "Wahai orang - orang yang beriman, jika…….maka cucilah wajah - wajah….dst….hingga kedua mata kaki." ini merupakan perintah untuk menghilangkan hadats kecil. Lalu Allah Swt berfirman : "Dan jika kalian berjunub maka bersucilah ini perintah untuk menghilangkan hadats besar. Kemudian Allah Swt menjelaskan sebab - sebab hadats kecil, yaitu (..atau salah seorang dari kalian buang air besar), kemudian Allah juga menjelaskan sebab hadats besar yaitu (atau kalian menyentuh wanita). Kalau menyentuh di artikan sekedar menyentuh, maka berarti Allah Swt tidak menyebutkan sebab hadats besar, dan ini merupakan kekurangan dalam kaidah balaghah.
7. Memandikan mayat, dalam hal ini ada pula dua pendapat : Pendapat pertama adalah batal Wudhu'nya, dengan dalil : Di riwayatkan dari Ibnu Umar Ra, Abu Hurairah Ra, dan Ibnu Abbas Ra, bahwasanya mereka memerintahkan orang yang memandikan mayat untuk berWudhu'. Orang yang memandikan mayat pada umumnya menyentuh kemaluan si mayat. Pendapat kedua adalah merupakan pendapat Ibnu Taimiyah : Tidak batal Wudhu', dalilnya adalah : Jika memang atsar tersebut shahih, maka mungkin saja perintah tersebut untuk istihbab (sunnah), menyatakan sesuatu membatalkan Wudhu' harus berhati - hati, sebab jika kita menyatakan Wudhu'nya batal, otomatis kita menyatakan bahwa shalatnya juga batal. Tidaklah benar bahwa menyentuh dzakar, membatalkan Wudhu' secara mutlaq (khilaf tentang masalah ini telah lalu). Kalaupun membatalkan, belum tentu yang memandikan ini menyentuh kemaluan si mayat. Pendapat pertama setuju bahwa jika kita memandikan orang lain yang masih hidup (mungkin karena sakit) maka Wudhu' kita tidak batal, maka demikian pula ketika kita memandikan dia setelah mati, tidak membatalkan Wudhu'.
8. Memakan daging unta, ini juga ada perbedaan pendapat antara para ulama, Pendapat pertama adalah : Batal Wudhu'nya, dengan dalilnya dari Jabir bin Samurah Ra, bahwasanya seorang laki - laki bertanya kepada Rasulullah Saw : “Apakah saya berWudhu' karena (memakan) daging kambing?” Nabi Saw menjawab : ”Kalau kamu mau, maka berWudhu'lah dan kalau tidak maka janganlah berWudhu'”. Dia berkata : ”Apakah saya berWudhu' karena (makan) daging unta?”, Nabi Saw menjawab : “Ya, berWudhu'lah karena (makan) daging unta!”. Dia berkata : ”Apakah saya (boleh) shalat di kandang kambing? Nabi Saw menjawab : ”Ya”. Dia bertanya : “Apakah saya (boleh) shalat di kandang unta?”, Nabi Saw menjawab : "Tidak”. (Hadits riwayat Muslim). Dalam hadits ini Nabi Saw mengaitkan Wudhu' jika makan daging kambing dengan masyi’ah (pilihan), hal ini menunjukan bahwasanya jika daging unta tidak ada pilihan lain. Hadits Al-Barra’, yaitu Rasulullah Saw bersabda : "BerWudhu'lah karena daging unta." Dan asalnya perintah adalah untuk wajib. Pendapat kedua : Tidak batal Wudhu', dengan dalilnya : dari hadits Jabir Ra, beliau berkata : “Perkara yang terakhir (yang di pilih oleh) Rasulullah Ra dari dua perkara, adalah meninggalkan Wudhu' karena (memakan) apa - apa yang terkena api.” Dan perkataan (apa - apa yang terkena api) adalah umum mencakup unta, dan hadits ini merupakan nasikh bagi hadits Jabir Ra yang pertama. Hadits Ibnu Abbas Ra, bahwasanya Nabi Saw bersabda : "Wudhu' itu karena apa - apa yang keluar bukan karena apa - apa yang masuk." Pendapat yang ketiga : Hukum berWudhu'nya hanyalah sunnah, (inilah pendapat Imam Syaukani), dengan dalil bahwasanya jika Nabi Saw memerintahkan suatu perkara, kemudian beliau menyelisihinya maka, menunjukan bahwa perintah tersebut tidaklah wajib. Dan yang rajih dan benar adalah pendapat yang kedua. Bantahan terhadap pendapat pertama dan ketiga : Hadits Jabir Ra yang kedua ini umum, sedangkan hadits - hadits yang di jadikan dalil oleh pendapat pertama adalah khusus, maka yang umum di bawakan kepada yang khusus. Jadi yang benar semua yang di sentuh api tidak perlu Wudhu' kecuali daging unta. Adapun menyatakan hadits ini sebagai nasikh, maka tidaklah benar sebab masih mungkin untuk di jama'kan, adapun hadits Ibnu Abbas Ra adalah dha’if (lemah). Pendapat yang menyatakan perintah berWudhu' karena memakan daging unta hanyalah sunnah adalah lemah, sebab sunnah Nabi Saw mencakup perkataan dan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau menyelisihi perkataan beliau, maka jika bisa di jama'kan maka tidak kita bawakan pada khususiyah Nabi Saw, karena kita di perintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan beliau. Apakah yang membatalkan Wudhu' itu hanya daging (otot)nya saja atau termasuk juga hati, jantung, dan yang lainnya. Ada khilaf juga di antara para ulama, di antara mereka ada yang menyatakan bahwa hanya daging yang membatalkan Wudhu', dalilnya : Jantung, hati, rempelo dan jeroan, itu tidaklah di sebut daging, kalau kita memerintahkan orang lain untuk membelikan daging, lantas dia membelikan kita jeroan maka tentu kita tidak menerimanya. Asal segala sesuatu adalah suci, sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya. Hikmah bahwa memakan daging unta membatalkan Wudhu' adalah ta’abbudiyah, oleh karena itu tidak bisa di qiaskan dengan yang lainnya. Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh unta kalau di makan maka akan membatalkan Wudhu', dalilnya adalah : Bahwasanya daging menurut bahasa arab mencakup seluruh bagian tubuh, sebagaimana firman Allah Swt, "Di haramkan bagi kalian bangkai dan darah dan daging babi", maka daging di sini mencakup seluruh bagian tubuh babi baik kulit, jeroan, dan yang lainnya. Rasulullah Saw tidak lagi menjelaskan bahwa selain daging tidak membatalkan Wudhu', padahal beliau mengetahui bahwa manusia tidak hanya memakan daging unta saja. Tidak ada dalam syari’at Muhammad Saw di halalkan sebagian anggota tubuh hewan dan di halalkan bagian yang lain. Telah shahih bahwasanya Nabi Saw memerintahkan berWudhu' karena meminum susu unta, maka bagian – bagian yang selain susu lebih aula untuk di perintahkan berWudhu'. Namun hadits tentang masalah ini di dhaifkan oleh sebagian ulama). Hal - hal yang mewajibkan mandi, adalah seluruh yang mewajibkan mandi (seperti keluarnya mani, bertemu dua khitan, mati, dll), maka mewajibkan Wudhu'. Ini adalah kaidah, oleh karena itu perlu mengetahui apa - apa saja yang mewajibkan mandi karena hadats besar mencakup hadats kecil, contohnya keluarnya mani mewajibkan mandi, dan dia keluar dua jalan (qubul dan dubur) maka dia juga membatalkan Wudhu'. Namun kaidah ini masih perlu di teliti lagi, sebab Allah Swt berfirman : "Dan jika kalian junub maka bersucilah", maka Allah Swt mewajibkan orang yang junub untuk mandi saja, dan tidak mewajibkan mencuci empat anggota Wudhu', oleh karena itu apa saja yang mewajibkan mandi maka dia hanya mewajibkan mandi kecuali ada ijma' atau dalil yang menyelisihinya. Oleh karena itu yang rajih adalah seorang yang junub jika dia berniat mengangkat hadats, maka sudah cukup, dan tidak ada hajat untuk berniat mengangkat hadats kecil.
Demikianlah akan beberapa perkara yang bisa membatalkan Wudhu'. Mengenai beberapa hal yang di perselisihkan ulama, maka berpeganglah kepada hadist atau riwayat yang sesuai dengan 'Uqulihim/akal atau logika yang sehat dan jernih, andai ragu – ragu juga, maka tinggalkanlah, sebab hal itu hanyalah sunnah.
Jika seseorang telah bersuci, kemudian timbul keraguan apakah dia telah berhadats atau tidak, maka kembali pada keyakinannya bahwa dia telah bersuci dan dia meninggalkan keraguannya itu, contohnya seseorang telah berWudhu' untuk shalat magrib, ketika adzan isya’ dan dia hendak shalat isya’ dia ragu apakah Wudhu'nya telah batal atau belum, maka dia kembali pada asalnya yaitu dia telah berWudhu', contoh yang lain, seseorang bangun malam lalu dia mendapati bahwa pada celananya ada yang basah namun dia merasa tidak bermimpi, dan dia ragu apakah yang basah itu mani atau bukan, maka dia tidak wajib mandi karena asalnya dia tidak mimpi.
Kalau seseorang melihat pada celananya ada bekas mani, namun dia ragu apakah ini mani semalam atau mani dari malam – malam sebelumnya, maka hendaknya dia menganggap bahwa itu adalah mani semalam, karena ini sudah pasti dan jelas baginya, sedangkan malam - malam sebelumnya masih di ragukan, dan dia menqadla shalat – shalatnya yang di tinggalkannya semalam, dengan dalilnya yaitu : Dari Ibnu Abbas Ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian ketika dia sedang shalat lalu meniup duburnya maka dia khayalkan kepadanya bahwa dia telah berhadats padahal dia tidak berhadats, jika dia mendapati hal itu, maka janganlah dia berpaling (membatalkan) shalatnya hingga dia mendengar suara, atau dia mencium bau.” (Hadits ini di keluarkan oleh Al-Bazzar, dan asal hadits ini ada di shahihain dari hadits Abdullah bin Zaid Ra, dan di keluarkan juga oleh Muslim dari Abu Hurairah Ra yang sama dan semisal hadits ini).
Dan juga Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id Ra secara marfu’, yakni : "Jika syaithan datang kepada salah seorang dari kalian dan berkata,“Sesungguhnya engkau telah berhadats.” maka hendaknya dia berkata : ”Engkau
dusta.” Ibnu Hibban juga mengeluarkannya dengan lafal "Hendaknya dia mengucapkannya dalam hatinya." begitu pula sebaliknya, jika dia yakin telah berhadats lalu dia ragu apakah dia telah bersuci atau belum, maka asalnya dia tetap berhadats. Dan ini adalah qias‘aks yang di bolehkan dalam syari’at, dan jika timbul keraguan setelah selesai melakukan ibadah, maka tidak ada pengaruhnya keraguan tersebut sama sekali, misalnya seseorang berWudhu' kemudian dia ragu apakah dia telah berkumur - kumur atau setelah selesai shalat dia ragu, apakah dia telah membaca surat Al-Fatihah, atau dia hanya sujud sekali, maka janganlah ia memperhatikan keraguan tersebut, karena asalnya adalah ibadahnya sah, dan ini berlaku untuk semua ibadah.
WAJIBNYA WUDHU' JIKA INGIN
MENYENTUH AL-QUR'AN
Mengenai persoalan ini juga ada perbedaan pendapat di antara para ulama, yaitu : Wajib berWudhu' jika menyentuh mushaf, dengan dalil : Firman Allah Swt َ"Tidak menyentuhnya kecuali yang di sucikan", dan sesuai dengan hadits ini : Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya : Bahwasanya Nabi Saw menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Pada hal ini, Syaikh Utsaimin pada mulanya condong kepada pendapat Daud Adz-Dzahiri (akan di lampirkan nanti), namun setelah beliau memperhatikan hadits tadi, maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah Swt, yaitu "Melainkan untuk mensucikan kalian."
Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi Saw mengungkapkan mukmin dengan tahir, karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tahir, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, sebagaimana yang di katakan oleh Ishaq Al-Mawarzi : "Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) : ”Apakah seorang laki - laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa Wudhu'?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berWudhu'.” Ishaq berkata : ”(Hukumnya) sebagaimana yang di katakan oleh Imam Ahmad karena telah shahih dari Nabi Saw,"Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi Saw dan para tabi'in.
Saya berkata dalam hal ini adalah berwudhu' sesuai dengan firman Allah Swt dan riwayat ini, yaitu : “Dan yang shahih dari para sahabat yaitu yang di riwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqas Ra, bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqas Ra, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad : ”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata : ”Ya”, maka dia berkata : ”Berdirilah dan berWudhu'lah”, maka akupun berdiri dan berWudhu' kemudian aku kembali.” Ini di riwayatkan oleh Malik dan Baihaqi dengan sanad yang shahih.
Adapun kitab - kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa Wudhu', sebab jumlah tafsirnya lebih banyak di bandingkan jumlah Al-Qur’an dan itu bukanlah Al-Qur'an atau Mushaf asli, begitu pula dengan kitab – kitab yang lain yang terdapat pada ayat - ayat Al-Qur’an di dalamnya, namun jumlahnya sedikit, dalilnya adalah bahwa Nabi menulis kitab kepada orang - orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat - ayat Al-Qur’an.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : "Tidak wajib berWudhu' bila menyentuh mushaf, dengan dalilnya : Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shahih dari Aisyah, bahwasanya Nabi Saw berdzikir dalam seluruh keadaan suci maupun tidak. Adalah Nabi Saw berdzikir kepada Allah Swt dalam setiap dalam hal dan keadaan. (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat di jadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.
Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqas Ra, kalaupun seandainya shahih, maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqas kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab, sebab asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an, dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shahih dan sharih, sebab dalam hal ini permasalahannya adalah hanya wudhu' sebelumnya.
PERKARA - PERKARA YANG
DI SUNNAHKAN UNTUK BERWUDHU'
Wudhu' dalam hal ini sangat di perlukan hukumnya untuk beberapa hal, yaitu :
1. Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah Swt dengan dalilnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Musa Ra, bahwasanya beliau mengabarkan kepada Nabi Saw dengan khabarnya (pesannya) kepada Abu Amir Ra, bahwasanya beliau (Abu Amir Ra) berkata kepada dia (Abu Musa Ra) : "Sampaikan pada Nabi Saw salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah Swt) untukku.” Ketika dia (Abu Musa Ra) mengabarkan kepada Nabi Saw, maka Rasulullah Saw meminta air, kemudian berWudhu' dengan air tersebut, kemudian mengangkat kedua tangannya, lalu berkata : “Ya Allah, berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…dst (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
2. Ketika akan tidur, ini sesuai dengan hadits Bara’ bin Azib Ra, beliau berkata : Nabi Saw bersabda : "Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu, maka berWudhu'lah seperti Wudhu'mu ketika (akan) shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan." (Hadist riwayat Bukhari).
3. Setiap kali berhadats, dalilnya sesuai dengan hadits Buraidah Ra, beliau berkata : Rasulullah Saw mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata : ”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya aku memasuki surga tadi malam, maka aku mendengar suara langkah engkau di depanku.” maka Bilal menjawab : ”Tidaklah sama sekali aku beradzan kecuali aku shalat dua raka'at dan tidak pernah sama sekali aku berhadats kecuali aku berWudhu'.” (Hadist riwayat Ahmad).
4. Setiap akan shalat (walaupun belum batal Wudhu'nya), ini adalah sesuai dengan hadits Abu Hurairah Ra, beliau berkata : "Rasulullah Saw bersabda : "Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berWudhu' setiap shalat dan untuk bersiwak setiap berWudhu'." (Hadist riwayat Ahmad).
5. Ketika mengangkat mayat, sٍesuai dengan hadits Abu Hurairah Ra secara marfu’ : "Barangsiapa yang memandikan mayat, maka mandilah, dan barang siapa yang mengangat mayat, maka berWudhu'lah (Hadist riwayat Abu Dawud).
6. Setelah muntah, ini dasarnya sesuai dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ Ra, bahwasanya Nabi Saw muntah, lalu beliau berbuka, kemudian berWudhu'." (Hadist riwayat Tirmidzi).
7. Karena memakan makanan yang tersentuh api (di bakar), ini dasarnya sesuai dengan sabda Nabi Saw : "BerWudhu'lah, karena memakan makanan yang tersentuh api." (Hadist riwayat Muslim). Kemudian telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas Ra dan Amr bin Umayyah Ra dan Abu Rafi’ Ra, bahwasanya Nabi Saw makan daging yang tersentuh api, kemudian beliau berdiri dan shalat dan tidak berWudhu'." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa di sunnahkannya Wudhu' setelah memakan daging yang tersentuh api.
8. Orang yang junub ketika akan makan, ini sesuai dengan hadits Aisyah Ra, beliau berkata : "Rasulullah Saw, jika beliau junub, kemudian ingin makan atau tidur, maka beliau berWudhu' sebagaimana Wudhu' (untuk) shalat." (Hadist riwayat Muslim)
9. Sebab ingin mengulangi jimak, ini dasarnya dan sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : "Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjima') istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya, maka hendaklah dia berWudhu'." (Hadist riwayat Muslim). Adapun mandi, maka Nabi Saw mengelilingi istri - istrinya dengan sekali mandi." (Hadist riwayat Muslim).
10. Ketika orang yang junub ingin tidur, namun tidak mandi junub, maka hal ini sesuai dengan hadits Aisyah Ra, ketika beliau di tanya : “Apakah Rasulullah Saw tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka Aisyah Ra menjawab : “Benar, dan dia berWudhu'.” (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Dan juga ada hadits dari Ibnu Umar Ra, bahwasanya Umar Ra meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi Saw, maka dia (Umar Ra) berkata : ”Apakah salah seorang dari kami tidur dan dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi Saw berkata : “Hendaknya dia berWudhu' kemudian hendaklah dia tidur hingga dia mandi jika dia kehendaki.” (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
Saya berkata :”Ada riwayat dari Nabi Saw, bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau tidur, maka hal ini adalah : 1. Seorang yang tidur tanpa Wudhu' dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah. 2. Seorang yang beristinja' dan berWudhu' sebagaimana Wudhu'nya shalat (kemudian tidur), maka ini adalah boleh. 3. Seorang berWudhu' dan mandi (kemudian tidur), maka ini adalah yang sempurna.
Demikianlah halnya akan sifat wudhu'nya Rasulullah Saw, yang mana ini sangat penting di ketahui, guna untuk berusaha menyempurnakan tata cara wudhu' kita, harus di taati berdasarkan dalil dan riwayat tata cara wudhu' beliau, karena jika ibadah yang di luar sunnah beliau, maka hukumnya tertolak, berarti ibadah adalah sia – sia belaka.
1. Membasuh muka, termasuk berkumur - kumur dan menghirup air dengan hidung.
2. Membasuh kedua tangan (telapak) sampai siku.
3. Mengusap kepala, dan termasuk kedua telinga (membasuh kedua telinga jangan di pisahkan pelaksanaannya dengan mengusap kepala).
4. Membasuh kedua kaki, sampai mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (langsung antara membasuh anggota wudhu' yang satu dengan yang lainnya, dengan tidak di sela – sela pada waktu yang panjang atau di tunda kemudian pelaksanaannya dengan kegiatan atau pekerjaan yang lain, kecuali mengambil air untuk wudhu' anggota badan berikutnya. Pada zaman sekarang banyak yang melalaikan dan menyimpang cara wudhu'nya yang benar dan sesuai dengan nash (ajaran Rasulullah Saw), hal ini adalah suatu yang membahayakan bagi seseorang muslim dalam keabsahannya beribadah, di karenakan wudhu'nya tidak sempurna apalagi tidak tepat dan bahkan mengurang – ngurangi tertibnya dengan hanya sekedar atau asal – asalan saja yang mana jauh menyimpang dari riwayat tata cara wudhu'nya Rasulullah Saw, bahkan terkesan mengada – ngada (bid'ah).
Ingat! tiap sesuatu yang bid'ah (ibadah), maka tertolak dan itu adalah kesesatan yang nyata, maka dari itu dalam hal ini mari kita buka cara dan tertibnya Rasulullah Saw dalam berwudhu' dan hendaknya hal yang demikianlah untuk di ikuti, jika memang ada kesalahan dalam praktek wudhu' yang di lakukan, maka segeralah melakukan perbaikan dan pembenahan guna untuk mencapai keridhaan dari Allah Swt, berikut uraiannya :
KEUTAMAAN WUDHU'
Allah Swt mencintai orang - orang yang bersih, sebagaimana firman Allah Swt Q.S Al-Baqarah Ayat : 222, sesungguhnya gurrah dan tahjil (cahaya akibat Wudhu'' yang nampak pada wajah, kaki, dan tangan) merupakan alamat khusus ummat Muhammad Saw pada hari kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi Saw : “Sesungguhnya umatku di panggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah - wajah, tangan - tangan dan kaki - kaki mereka karena bekas Wudhu'.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Wudhu'' dapat menghapuskan dosa - dosa dan kesalahan - kesalahan, sebagaimana sabda Nabi Saw : "Barang siapa yang berWudhu'' lalu membaguskannya, maka akan keluar kesalahan - kesalahannya dari badannya bahkan sampai keluar dari bawah kuku – kukunya." (Hadits riwayat Muslim). Wudhu' bisa mengangkat derajat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang Allah menghapuskan kesalahan – kesalahan dengannya dan mengangkat derajat - derajat?” Para sahabat menjawab : “Tentu, Ya Rasulullah”, Beliau berkata : “Sempurnakanlah Wudhu' pada saat keadaan – keadaan yang di benci, dan perbanyaklah langkah menuju masjid - masjid dan setelah shalat tunggulah shalat berikutnya …”.(Hadits riwayat Muslim).
Dengan Wudhu' seseorang bisa masuk surga dari pintu - pintu surga yang dia sukai, sebagaimana sabda Nabi Saw : "Tidak ada seorang pun dari kalian yang berWudhu' lalu menyempurnakan Wudhu'nya, kemudian berkata : َ"Kecuali akan di bukakan baginya pintu - pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai." (Hadits riwayat Muslim).
HIKMAH WUDHU'
Inti dan ruh dari shalat adalah seorang hamba harus sadar, bahwa dia sedang berada di hadapan Allah Swt, agar fikiran bisa siap untuk itu dan bisa terlepas dari kesibukan – kesibukan duniawi, maka di wajibkanlah Wudhu' sebelum shalat karena Wudhu' adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan - kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan shalat.
Karena seseorang yang fikirannya sibuk dengan pekerjaan - pekerjaan perdagangan, industri dan sebagainya, jika kita katakan padanya “shalatlah!” maka dia akan merasa sulit dan berat untuk melaksanakannya, di sinilah (nampak jelas) hikmah Wudhu' karena membantu seseorang meninggalkan fikirannya yang sibuk dengan urusan - urusan duniawi, serta Wudhu' memberikan waktu yang cukup untuk memulai fikiran pada konsentrasi yang lain (yaitu shalat).
DEFINISI WUDHU'
Secara syar'i (terminologi) adalah "Menggunakan air yang tahur (suci dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat (yaitu wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki) dengan cara yang khusus menurut syari'at.
Cara Wudhu' Allah Swt berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Maidah Ayat 6 : "Hai orang - orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit[3] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[4] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
[3] Maksudnya sakit yang tidak boleh kena air.
[4] Artinya menyentuh, menurut jumhur ialah : Menyentuh, dan sedangkan sebagian mufassirin ialah : Menyetubuhi.
Dari Hadits Rasulullah Saw : Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari bapaknyaberkata : "Aku telah menyaksikan 'Amr bin Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang Wudhu'nya Nabi Saw, maka Abdullah bin Zaid Ra meminta tempayan kecil yang berisikan air, lalu dia berwudlu' sebagaimana Wudhu'nya Nabi Saw. Maka beliau pun memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumur – kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada dalam lubang hidung) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali dan langsung mengusap kedua daun telinganya satu kali juga tanpa mengambil air yang baru lagi, lalu kemudian beliau mencuci kedua kakinya. Dalam riwayat yang lain : Beliau memulai dengan (mengusap) bagian depan kepalanya hingga kebagian tengkuk lalu mengembalikan kedua tangannya tersebut hingga kembali ke tempat di mana beliau mulai (mengusap) lalu langsung mengusap kedua daun telinganya satu kali.
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat Wudhu' Nabi Saw adalah :
1. Berniat. hal ini sebagaimana telah di bahas bahwa niat adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bid'ah. Dan niat adalah syarat Wudhu' (dan ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga barang siapa yang berWudhu' dengan niat bukan untuk bertaqarrub kepada Allah Swt tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka Wudhu'nya tidak sah, karena Rasululah Saw bersabda "Sesungguhnya amalan - amalan itu tergantung niatnya." Namun menurut madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan berthaharah (termasuk juga ketika akan Wudhu') adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berWudhu' tanpa niat bertaqarrub pun sudah sah Wudhu'nya. Dan yang benar adalah pendapat jumhur ulama.
2. Membaca "Bismilah." Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, dari hadits Abu Hurairah Ra : "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berWudhu' dan tidak ada Wudhu' bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya." Hadits ini secara dhahir menunjukan bahwa membaca "bismillah" adalah syarat sah Wudhu'. Namun yang benar bahwa yang di nafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan Wudhu', terjadi khilaf di antara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya mengucapkan "bismilah" ketika akan berWudhu' Mereka berdalil dengan hadits ini, sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca "bismillah" ketika akan berWudhu' hukumnya hanyalah sunnah, tidak wajib. Dalil mereka adalah : Perkataan Imam Ahmad sendiri : "Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini", dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan Wudhu' Nabi Saw tidak menyebutkan "bismillah." Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari dhahir hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah) ke pendapat bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah pendapat Ad-Dzahiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan inilah (pendapat) yang benar Insya Allah. Dan ada juga hadits yang lain yaitu : Dari Anas berkata : "Sebagian sahabat Nabi Saw mencari air, maka Rasulullah Saw berkata : “Apakah ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka Nabi Saw meletakkan tangannya ke dalam air (tersebut) dan berkata :“BerWudhu'lah (dengan membaca) bismillah.” maka aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hinggapara sahabat seluruhnya berWudhu' hingga yang paling akhir dari mereka. Berkata Tsabit :”Aku bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka yang engkau lihat?, Beliau berkata : "Sekitar tujuh puluh orang." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca bismillah karena Rasulullah Saw menggunakan fiil amr. Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya ketika akan berWudhu' dan dia baru ingat di tengah dia berWudhu' atau bagaimana jika dia baru ingat setelah berWudhu'. Jawabnya : Jika dia ingat di tengah berWudhu', maka dia tidak perlu mengulangi Wudhu'nya tapi terus melanjutkan Wudhu'nya karena membaca "bismillah" bukan merupakan syarat Wudhu'. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai berWudhu' maka Wudhu'nya sah, karena Allah Swt tidak membebani apa yang tidak di sanggupi oleh umatnya.
3. Berkumur - kumur (tamadlmudl) dan beristinsyaq, hal ini terjadi khilaf di antara para Ulama : Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur – kumur dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang (sepuluh dari sunnah para nabi), di antaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib namun pendalilan ini sangat lemah. Yang di maksud dengan sunnah dalam hadits adalah "thariqah (jalan)" bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika di kerjakan mendapatkan pahala dan jika di tinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah istilah yang baru. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur - kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil - dalil mereka : Nabi Saw senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi Saw akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukan akan bolehnya. Allah Swt berfirman (Dan cucilah wajah - wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah Swt. Adanya hadits - hadits yang menunjukan akan wajibnya, adalah hadits Abu Hurairah Ra yang di riwayatkan oleh Imam Muslim "Barangsiapa yang berWudhu' hendaklah dia beristinsyaq" Dan juga hadits yang di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruqutni dari hadits Laqith bin Sabrah, bahwasanya Nabi Saw bersabda : "Jika engkau berWudhu' maka berkumur – kumurlah." Dan setelah beristinsyaq hendaknya melakukan beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung).
4. Mencuci wajah. Hukumnya adalah wajib, dan definisi wajah secara syar'i tidak di jelaskan oleh syari'at, oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqabalah (saling berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal). Dan bagi yang punya jenggot, ini dasarnya dari Hadits Rasulullah Saw : Dari Utsman Ra berkata : "Sesungguhnya Nabi Saw menyela - nyela jenggotnya ketika berWudhu'. (Hadits riwayat At-Tarmidzi). Dan juga hadits Anas Ra : Bahwasanya Nabi Saw jika berWudhu' beliau mengambil segenggam air (dengan tangannya) lalu beliau emasukkannya di bawah mulutnya kemudian eliau menyela - nyela jenggot dengannya. Dan beliau berkata : "Demikianlah Rabbkuَ memerintah aku." Menyela - nyela jenggot ada dua hukum atau cara : Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela - nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal jenggot· Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela - nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib di cuci karena dia merupakan perpanjangan wajah.
5. Mencuci kedua tangan. Di cuci dari ujung - ujung jari hingga ke siku tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri. Apakah siku ikut di cuci atau tidak? Allah Swt berfirman : (Dan cucilah) tangan - tangan kalian hingga ke siku – siku, adapun dalam permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan adanya qarinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu. Di antaranya : Dari Jabir Ra berkata : "Adalah Nabi Saw jika berWudhu', beliau memutar air ke kedua sikunya." (Di riwayatkan oleh Ad-Daruqutni). Ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Hurairah Ra, bahwa Abu Hurairah Ra berWudhu' maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rasulullah Saw berWudhu." (Hadits riwayat Muslim). Apakah di sunnahkan mencuci tangan hingga ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Hurairah Ra? Untuk masalah ini (memanjangkan daerah Wudhu' hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf di kalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini di sunnahkan. Imam Nawawi berkata : "Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan keda mata kaki." Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah Ra juga pada dalam riwayat yang lain : Dari Abu Hurairah Ra berkata : "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : "Sesungguhnya umatku di panggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah - wajah, tangan - tangan dan kaki – kaki mereka karena bekas Wudhu', maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan gurrahnya dan tahjilnya maka lakukanlah." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak di sunnahkannya hal ini (memanjangkan Wudhu' melewati tempat yang yang di wajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan juga di pilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Adurrahman As-Sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Al-Albani. Dalil mereka adalah : Seluruh sahabat yang mensifatkan Wudhu' Nabi Saw tidak menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki. Dalam ayat (Surah Al-Maidah Ayat : 6) tempat anggota Wudhu' hanya di batasi pada siku dan dua mata kaki. Adapun perkataan : "Barang siapa yang mampuuntuk memanjangkan, dst…..", ini bukanlah perkataan Rasululah Saw, tetapi merupakan mudraj (tambahan perkataan) dari Abu Hurairah Ra. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu'aim Al-Mujmiri perawi hadits ini berkata : "Aku tidak tahu perkataan ("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrahnya hendaklah dia melakukannya") merupakan perkataan Rasulullah Saw atau perkataan Abu Hurairah Ra. Berkata Ibnul Qayyim : "Tambahan ini adalah mudraj dari perkataan Abu Hurairah Ra dan bukanlah dari perkataan Nabi Saw, hal ini telah di jelaskan oleh banyak Hafiz." Bahkan dalam suatu hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim, beliau berkata : "Aku di belakang Abu Hurairah Ra dan dia sedang berWudhu' untuk shalat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya : "Wahai Abu Hurairah, Wudhu' apa ini?", maka beliau berkata : "Wahai Bani Farrukh, apakah engkau di sini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berWudhu' seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi Saw) bersabda : "Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya Wudhu'. Hadits ini jelas menunjukan bahwa Wudhu' yang di lakukan oleh Abu Hurairah Ra hanyalah ijtihad beliau Ra saja. Kalau kita terima bahwa hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi di sebut gurrah. Karena yang namanya gurrah hanyalah di wajah saja. Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Hurairah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda : (Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) Wudhu'nya. (Riwayat Muslim). Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah di pakai di lengan bawah bukan di lengan atas.
6. Mengusap kepala dan dua daun telinga. Caranya sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup di usap tidak boleh di cuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihi perintah Nabi Saw. Allah Swt mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karena mencuci kepala bisa memberatkan kaum muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkan mengusap tidak. Dan di sunnahkan mengusap kepala hanya sekali, namun boleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shahih dari Utsman Ra bahwasanya Nabi Saw pernah mengusap kepalanya tiga kali. Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusap seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi'i berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian kepala, karena Nabi Saw pernah hanya mengusap ubun - ubun beliau ketika berWudhu'. Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnya mengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam hadits - hadits yang shahih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : "Tidak di nukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi Saw mencukupkan membasuh sebagian kepala." Berkata Ibnul Qayyim : "Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shahih bahwa Nabi Saw pernah mencukupkan membasuh sebagian kepala." Dan inilah pendapat yang benar, karena Nabi Saw mengusap ubun - ubunnya ketika dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits : Dari Mugirah bin Syu'bah bahwasanya Nabi Saw berWudhu'' lalu beliau mengusap ubun - ubunnya dan atas sorbannya dan kedua khufnya." (Riwayat Muslim) Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan : 1. Nabi Saw pernah hanya mengusap sorbannya dan pernah hanya mengusap kepalanya di mulai dari ubun - ubunnya. 2. Nabi Saw mengusap ubun - ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. Dan dalam mengusap kepala di sertai dengan mengusap kedua telinga, ini sesuai dengan hadits dari Abdillah bin 'Amr Ra tentang sifat Wudhu' Rasulullah Saw, dan ia berkata : "Kemudian Nabi Saw mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya." (Hadits riwayat Abu Dawud dan Nasa'i). Dan juga hadits dari Ibnu Abbas Ra : "Sesungguhnya Nabi Saw mengusap kepalanya dan kedua telinganya baik bagian luar maupun yang bagian dalam." (Hadits riwayat At-Tarmidzi). Dan ketika mengusapnya tidak lagi mengambil air wudhu' yang baru. Berkata Ibnul Qayyim : "Tidak ada riwayat yang tsabit dan shahih dari Nabi Saw bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap kedua telinganya." Inilah yang shahih riwayat hadist mengenai hal ini, yaitu bahwasanya Nabi Saw mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa (untuk mencuci) kedua tangannya. Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena termasuk dari keumuman perintah dalam ayat, dan telinga termasuk kepala (baik menurut bahasa, 'urf, mapun syar'i). Hikmah di usapnya telinga selain untuk sempurnanya kebersihan telinga baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa - dosa yang telah di lakukan oleh telinga, namun lakukan dengan benar dalam hal cara mengusap kedua daun telinga tersebut tanpa membuat – buat hukum yang baru (bid'ah) di luar tata cara wudhu'nya Rasulullah Saw seperti yang telah di riwayatkan oleh para sahabat beliau yang menyaksikan langsung cara Rasulullah Saw berwudhu'.
7. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata kaki, dan demikian pula yang kiri. Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah Swt (Dan kaki - kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung – ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki, sebagaimana di sebutkan dalam ayat. Dan ini telah di sepakati oleh Ahlus sunnah waljama'ah. Kalaulah boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi Saw dari Abdullah bin Amr Ra, ia berkata : "Rasulullah Saw ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami) beliau mendapati kami (dan ketika itu) telah datang waktu shalat yaitu shalat ashar, kami sedang berWudhu', maka kami mengusap kaki – kaki kami. Lalu Rasulullah Saw berteriak kepada kami dengan suaranya yang keras : "Celakalah tumit - tumit (yang tidak terkena air Wudhu') dengan api." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air. Dan mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana di jelaskan oleh hadits Abu Hurairah Ra : "Abu Hurairah berWudhu' maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata : "Demikianlah aku melihat Rasulullah Saw berWudhu'" (Hadits riwayat Muslim). Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma di usap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas. Perlu di ingat ketika mencuci kaki di sunnahkan untuk mencela jari - jari kaki dan juga jari – jari tangan, sebagaimana hadits dari Laqith bin Sabrah Ra, ia berkata : "Rasulullah Saw bersabda : "Sempurnahkanlah Wudhu' dan sela - selalah jari - jari dan bersungguh – sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa." (Hadits Ibnu Khuzaimah). Adapun menyela jari - jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa di katakan sunnah Nabi Saw. Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad : "Aku melihat Nabi Saw berWudhu' dan dia menggosok jari - jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya." Kalau riwayat ini benar, maka sesungguhnya Nabi Saw hanya melakukannya sekali - kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak di riwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan Wudhu' Nabi Saw seperti pada hadits dari Utsman Ra, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah.
8. Membaca do'a setelah Wudhu'. Yaitu sebagaimana yang di sebutkan dalam hadits : "Tidak ada seorang pun dari kalian yang berWudhu', lalu menyempurnakan Wudhu'nya, kemudian berkata : َ "Kecuali akan di bukakan baginya pintu - pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai." (Hadits riwayat Muslim). Dan juga tambahan yang di riwayatkan oleh At-Tarmidzi : "Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang – orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang - orang yang bersih."
SYARAT - SYARAT WUDHU'
1. Niat, ini ada khilaf tentang pelaksanaannya antara jumhur dan Hanafiyah, lihat sebagaimana pada keterangan di atas.
2. Air yang di gunakan harus tahur (suci dan mensucikan), maka tidak sah berWudhu' dengan air yang najis.
3. Air yang di gunakan harus air yang halal (ada khilaf dalam masalah ini). Sehingga tidak sah berWudhu' dengan air curian.
4. Menghilangkan hal - hal yang bisa menghalangi sampainya air ke kulit. Dalilnya adalah : Hadits Khalid bin Mi’ dan bahwasanya Nabi Saw melihat seorang laki - laki yang pada kakinya ada seukuran dirham yang tidak terkena air (Wudhu'), maka Nabi Saw memerintahkan laki - laki tersebut untuk mengulangi Wudhu' (Hadits Abu Dawud dan ada tambahannya, yaitu Nabi Saw memerintahkannya untuk mengulangi shalat).
5. Jika seseorang selesai dari buang hajat (hadast/hajat besar dan kecil), maka dia harus bersuci dahulu sebelum berWudhu'.
RUKUN - RUKUN WUDHU'
Rukun - rukun yang di sepakati ulama berdasarkan pada riwayat yang shahih, ada empat yaitu :
· Mencuci wajah;
· Mencuci tangan;
· Mengusap kepala;
· Mencuci kedua kaki.
Sedangkan rukun - rukun yang jadi dan di perselisihkan ulama, antara lain :
6. Tertib. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah tertib dalam Wudhu' hanyalah sunnah muakkad dan tidak fardlu. Sedangkan menurut Hanabilah dan Syafi'iyah tertib dalam Wudhu' adalah fardlu, dengan dalilnya sesuai dengan hadits Nabi Saw, yakni "Mulailah dengan apa yang di mulai oleh Allah Swt", (Hadits riwayat Muslim). Walaupun hadits ini tentang masalah haji, yaitu berkaitan dengan firman Allah Swt memasukkan yang di usap di antara hal - hal yang di cuci. Dan hal ini telah keluar dari qaidah balaghah. Dan tidak ada faedah yang bisa di peroleh dari hal ini kecuali tertib, oleh karenanya, barang siapa yang berWudhu' dengan tidak tertib maka Wudhu' tidak sah. Adapun tertib antar selain empat anggota yang di sebutkan dalam ayat, maka hukumnya sunnah berdasarkan ijma', misalnya antara berkumur – kumur dan beristinsyaq dengan wajah, antara kaki kanan dengan kaki kiri, tangan kanan dengan tangan kiri, dan antara kepala dan telinga, sebab pada hakikatnya contoh - contoh ini merupakan satu anggota tubuh, yaitu para ulama menganggap kaki kanan dan kaki kiri sebagai satu anggota tubuh. Jika seorang berWudhu' tanpa tertib (walaupun karena lupa), maka Wudhu'nya tidak sah karena Wudhu' adalah satu kesatuan sebagaimana shalat. jika seseorang sujud sebelum ruku' kemudian baru ruku' maka shalatnya tidak sah walaupun dia dalam keadaan lupa.
7. Muwalah. Maksudnya dengan muwalah adalah bersambungan, yaitu Wudhu' harus di lakukan bersambungan jangan terpisah hingga anggota tubuh yang sebelumnya kering. Menurut Hanafiyah dan Syafi'iah, muwalah adalah hukumnya sunnah tidak wajib. Namun menurut Malikiyah dan Hanabilah hukumnya adalah fardlu, sebab adanya hadits dari Khalid bin Mi'dan, kalau seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi Saw tidak memerintahkan laki - laki tersebut untuk mengulangi Wudhu'nya, tetapi cukup di sempurnakan saja. Nabi Saw senantiasa melakukannya qiyas dengan shalat, karena shalat itu harus muwalah, kalau shalat terpisah dengan pembicaraan, maka batal kewajiban - kewajiban Wudhu', kewajiban Wudhu' cuma ada satu, (namun ini di perselisihkan oleh para ulama), yaitu membaca bismillah ketika akan berWudhu'.
SUNNAH - SUNNAH WUDHU'
Wudhu' memiliki susunan dan tata cara yang merupakan sunnah - sunnah, yaitu :
1. Bersiwak, sebagaimana sabda Rasulullah Saw,"Kalau bukan karena akan memberatkan umatku, maka akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan berWudhu'." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
2. Mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan (siku), sebelum berWudhu'.
3. Mencuci anggota - anggota Wudhu' sebanyak tiga kali. (sedangkan mengusap kepala yang di lakukan Nabi Saw adalah sekali).
4. Nabi Saw berWudhu' tiga - tiga kali, dan hadits mengenai ini banyak, demikian pula telah tsabit, bahwa Nabi Saw dua - dua kali, dan juga telah tsabit bahwa Nabi Saw pernah berWudhu' sekali – sekali. Dan juga telah tsabit, bahwasanya Nabi Saw berWudhu', sebagian anggota tubuhnya tiga kali dan sebagian yang lain dua kali.
5. Menyela - nyela jenggot yang tebal.
6. Menyela - nyela jari - jari kaki dan jari - jari tangan.
7. Menggosok (Dalk), maksudnya dengan dalk, yaitu menggosok anggota Wudhu' (yang telah terkena air) dengan menggunakan tangan (sebelum anggota Wudhu' tersebut kering). Dan yang di maksud dengan tangan di sini adalah telapak (bagian dalam) tangan, oleh karena itu tidak cukup mendalk kaki dengan menggunakan kaki lainnya. Menurut jumhur ulama hukum dalk adalah sunnah karena tidak di sebutkan dalam ayat. Sedangkan menurut Malikiyah adalah wajib. Dalil mereka adalah : "Sesungguhnya mencuci yang di perintahkan dalam ayat tidaklah bisa terwujud kecuali dengan dalk, sedangkan hanya sekedar terkena air tidaklah di anggap sebagai satu cucian. Dan yang di contohkan oleh Nabi Saw adalah dengan dalk (menggosok) sebagaimana dalam hadits Dari Abdullah bin Zaid Ra berkata : "Bahwasanya Nabi Saw di datangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau mendalk (menggosok) kedua lengannya." (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah). Tetapi pendapat jumhur yang lebih kuat, adalah sebab yang di perintahkan oleh Allah Swt hanyalah mencuci, bukan menggosok, sedangkan sekedar perbuataan Nabi Saw tidak bisa menunjukkan akan wajib, tetapi jika air tidak bisa menyentuh kulit, kecuali dengan di gosokkan, maka hukum dalk adalah wajib.
8. Mendahulukan tangan kanan daripada yang kiri dan kaki kanan daripada kaki kiri. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah Ra : "Jika kalian berWudhu' maka mulailah dengan bagian kanan kalian." (Hadits riwayat Imam Ahmad, Baihaqi, Thabrani dan Ibnu Hibban).
9. Berdo'a setelah berWudhu'.
10. Menggunakan air Wudhu' dengan hemat (jangan mubazir), yang afdhal adalah berWudhu' tiga - tiga kali, namun tidak boros dan berlebih - lebihan dalam menggunakan air, baik ketika Wudhu' maupun ketika mandi, walaupun di sebuah sungai atau laut. Sebagaimana dalam hadits dari 'Aisyah Ra, bahwasanya Rasulullah Saw mandi janabah dengan satu ina', (yaitu satu farq). (Hadits riwayat Muslim). Berkata Sofyan mengenai hal ini, satu farq adalah tiga saq. Dan Nabi Saw pernah berWudhu' dengan dua per tiga mud, sebagaimana riwayat hadits dari Abdullah bin Zaid Ra berkata : "Bahwasanya Nabi Saw di datangkan air kepada beliau (sebanyak) dua per tiga mud, lalu beliau mendalk (menggosok) kedua lengannya." (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah). Berkata Imam Bukhari : "Nabi Saw telah menjelaskan bahwa wajibnya Wudhu' adalah sekali - sekali, dan Nabi Saw juga pernah berWudhu' dua kali - dua kali dan tiga kali – tiga kali dan Nabi Saw tidak menambah lebih dari tiga kali." Para ahli ilmu membaca berlebih - lebihan dan melebihi perbuatan Nabi Saw." Oleh karena itu hendaknya berhemat dalam berwudlu' dan sesuai dengan sunnah Nabi Saw. Dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya berkata : "Seorang arab badui datang kepada Nabi Saw, maka Nabi Saw memperlihatkannya Wudhu' dengan tiga kali - tiga kali, kemudian Nabi Saw berkata : "Demikianlah Wudhu', maka barang siapa yang menambah lebih dari ini (lebih dari tiga kali), maka dia telah berbuat jelek dan melampaui batas dan berbuat dzalim." (Hadits riwayat A-nNasai). Dan dari Abdullah bin Mugaffal Ra, bahwasanya beliau mendengar Nabi Saw berkata : "Sesungguhnya akan ada pada umat ini suatu kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo'a." (Hadits riwayat Abu Dawud).
HAL – HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU'
Jika terdapat salah satu dari pembatal - pembatal wudhu' ini, dan maka seseorang telah batal Wudhu'nya, yaitu :
1. Segala yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Dan yang termasuk dalam hal ini ialah : Buang air besar dan buang air kecil, dalilnya firman Allah Swt "Atau salah seorang di antara kalian buang air besar." Dan sabda Rasulullah Saw, "Tetapi karena buang air besar dan buang air kecil dan tidur." Buang angin juga batal, dengan dalilnya adalah dari hadits Abdullah bin Zaid Ra, bahwasanya di adukan kepada Nabi Saw ada seorang yang di khayalkan bahwasanya dia mendapatkan sesuatu (merasa telah buang angin) dalam shalatnya, maka Nabi Saw bersabda : "Janganlah dia berpaling (keluar dari shalatnya) sampai dia mendengar bunyi (kentut)nya atau sampai dia mencium baunya." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Demikian pula ketika Abu Hurairah Ra di tanya oleh seorang laki - laki dari Hadramaut : "Apakah yang di maksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?" (yaitu hadats yang di sebutkan dalam hadits : "Sesungguhnya Allah tidak akan menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats hingga dia berWudhu." Maka Abu Hurairah Ra berkata : "Kentut yang tidak bersuara dan kentut yang bersuara." (Di riwayatkan Bukhari dan Muslim). Namun terjadi khilaf di antara para ulama, bagaimana jika ada angin yang keluar dari depan (dari kemaluan), yang hal ini kadang terjadi pada kaum wanita? Hanafiyah berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan Wudhu'. Sedangkan selain Hanafiyah menyatakan tetap batal sesuai dengan keumuman nada suatu hadits ini : "Tidak ada Wudhu'' kecuali karena bunyi atau angin." (Hadits riwayat At-Tarmidzi dan Ibnu Majah). Ibnu Qudamah berkata : "Kami tidak mengetahui adanya wujud angin ini, kami tidak mengetahui adanya angin ini pada seseorang." , namun yang benar angin seperti ini ada wujudnya dan kadang – kadang menimpa para wanita.
2. Madzi (air jernih dari kemaluan, dan bukan mani), sesuai dengan Hadits Ali Ra, beliau berkata : "Aku adalah seorang yang sering keluar madzi dan aku malu untuk bertanya (tentang masalah ini) kepada Rasulullah Saw, karena kedudukan anak beliau." Maka akupun memerintahkan Miqdad bin Aswad (untuk menanyakan hal ini kepada beliau), maka beliau berkata : "Dia cuci dzakarnya dan dia berWudhu." (Di riwayatkan Bukhari dan Muslim).
3. Darah istihadlah, sesuai dengan hadits 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah Saw berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy yang beristihadlah : "BerWudhu'lah setiap kali shalat." (Hadits Bukhari dan Muslim). Berkata An-Nawawi : "Maka yang keluar dari qubul atau dubur laki - laki atau perempuan membatalkan Wudhu', sama saja baik ia buang air besar, buang air kecil, angin, dari dalam perut seperti, ulat, cacing, dan sebagainya, nanah, darah, atau batu kecil, atau lainnya." Dan tidak ada perbedaan dalam hal tersebut antara yang biasanya terjadi maupun yang jarang terjadi. Sedangkan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti nanah, darah, dan muntah maka tidak membatalkan Wudhu'. Dan inilah pendapat Malikiyah dan Syafi'iyah dengan dalil bahwa Nabi Saw pernah berbekam namun beliau tidak berWudhu'. Mereka juga berdalil dengan kisah ketika ada seorang sahabat Ansar yang shalat pada malam hari, lantas kakinya terkena tiga anak panah musuh sehingga mengalir darah dan dia tetap ruku dan sujud melanjutkan shalatnya. (hadist riwayat Abu Dawud). Ada pendapat yang menyatakan bahwa muntah membatalkan Wudhu'. Dengan dalilnya adalah : 1. Bahwasanya Nabi Saw muntah dan beliau berWudhu'. 2. Muntah itu adalah sisa - sisa yang keluar dari badan, maka dia mirip dengan kencing dan tahi. Namun ini adalah pendapat yang lemah sebab yang di lakukan oleh Nabi Saw hanyalah sekedar fi'il dan tidak menunjukan wajib.
4. Tidur, kisah dari Anas bin Malik Ra, berkata : "Adalah para sahabat Rasulullah Saw di masa Rasulullah Saw menunggu shalat isya' hingga terangguk – angguk kepala mereka, kemudian mereka shalat tanpa berWudhu'. (Hadits riwayat Abu Dawud dan Muslim). "Sungguh aku telah melihat para sahabat Rasulullah Saw di bangunkan untuk shalat, hingga aku sungguh mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun lalu shalat dan mereka tidak berWudhu." (Hadist riwayat At-Tarmidzi). Ibnul Mubarak berkata : "Ini menurut kami, mereka (tidur) dalam keadaan duduk." Ada khilaf di antara para ulama tentang masalah ini, yaitu pendapat pertama ini merupakan pendapat Abu Musa Al-'Asyari Ra, Ibnu Umar Ra, dan Ibnul Musayyib, "Baik tidurnya banyak ataupun sedikit tidaklah membatalkan Wudhu' selama belum di pastikan timbulnya hadats, karena tidur itu bukanlah pembatal tetapi hanyalah tempat kemungkinan terjadinya hadats. Dan tidak bisa di katakan batal kecuali sampai yang tidur tersebut yakin bahwa dia berhadats. Para sahabat yang di sebutkan dalam hadits di atas sampai ada yang mendengkur (tidurnya lelap), namun bangun dari tidur dan langsung shalat tanpa Wudhu'. Pendapat kedua (jumhur) : "Jika tidurnya banyak, maka membatalkan Wudhu', namun tidur yang sedikit tidak membatalkan Wudhu'. Dan mereka (jumhur) memiliki perincian tentang ciri - ciri tidur yang sedikit tersebut yang di sebutkan dalam kitab - kitab fiqh. Di antaranya seperti tidur dalam keadaan duduk (atau dalam keadaan sujud). Karena dalam hadits di atas di sebutkan bahwa hingga kepala - kepala para sahabat terangguk - angguk. Dan ini tidaklah terjadi kecuali mereka tidur dalam keadaan duduk (sebagaimana perkataan Ibnul Mubarak). Dan seseorang yang tidur dalam keadaan duduk, dia tidak bisa buang angin kecuali dengan mengerakkan badannya ke kanan atau ke kiri. Dan jika tidurnya lelap dan tidak dalam keadaan duduk maka batal sebagaimana hadits Rasulullah Saw dari jalan Sofwan bin 'Asal Ra berkata : "Adalah Nabi Saw memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf - khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah di lepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur."(Hadits riwayat Ahmad, An-Nasai, dan At-Tarmidzi). Pendapat ketiga, ini adalah pendapat Ibnu Hazm, bahwasanya tidur membatalkan Wudhu' secara mutlaq baik tidurnya sedikit maupun tidurnya banyak. Mereka berdalil dengan hadits Sofwan bin 'Asal Ra di atas yang menunjukan bahwa tidur membatalkan Wudhu' secara mutlaq karena Rasulullah Saw tidak memperincinya. Demikian pula dengan hadits : Dari Mu'awiyah berkata : Rasulullah Saw bersabda : "Mata adalah pengikat lingkaran dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya dia berWudhu'." Dan pendapat yang ketiga inilah yang rajih dan yang telah di pilih, bantahan terhadap pendapat kedua : yaitu adanya riwayat yang lain dari Abu Dawud dengan sanad yang shahih : "Adalah para sahabat Rasulullah Saw membaringkan lambung - lambung mereka, lalu mereka tidur, maka di antara mereka ada yang berWudhu' dan ada yang tidak berWudhu'." Dan lafal ini membaringkan lambung – lambung mereka, bertentangan dengan lafal terangguk - angguk kepala mereka, yang menunjukan mereka tidur dalam keadaan duduk. Oleh karena itu kita katakan hadits ini mudtarib, sehingga tidak bisa di jadikan sebagai hujjah, atau kita jama'kan dua lafal ini, yaitu sebagian mereka para sahabat tidur dalam keadaan duduk dan sebagian yang lain dalam keadaan berbaring, sebagian sahabat ada yang berWudhu' dan sebagian yang lain tidak, dan penjama'an ini lebih benar. Dengan demikian maka ini merupakan dalil bagi yang mengatakan bahwa tidur tidaklah membatalkan Wudhu' secara mutlak (yaitu pendapat jumhur). Namun ini bertentangan dengan hadits Sofwan bin 'Asal Ra yang marfu' kepada Nabi Saw yang lebih rajih dan shahih daripada hadits Anas Ra ini yang mauquf. Dan bisa jadi juga hadits Anas Ra ini sebelum di wajibkannya berWudhu' karena tidur. Bantahan terhadap pendapat pertama : Pendapat bahwa tidur bukanlah pembatal Wudhu' tetapi tempat kemungkinan timbulnya hadats, maka kita katakan : Ketika perkaranya demikian, maka Nabi Saw memerintahkan semua orang yang tidur untuk berWudhu', walaupun tidur dalam keadaan duduk, karena Nabi Saw mengabarkan bahwa mata adalah pengikat lingkaran dubur, jika mata tertidur maka lepaslah ikatan itu, dan orang yang tidur dalam keadaan duduk, telah terlepas ikatannya walaupun dalam sebagian keadaan, misalnya dia miring ke kiri atau ke kanan. Dan inilah pendapat Ibnu Hazm dan Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Salam tentang riwayatnya yang bagus yang di hikayatkan oleh Ibnu Abdil Bar, beliau (Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Salam) berkata : "Aku berfatwa bahwa barang siapa yang tidur dalam keadaan duduk, maka tidak wajib Wudhu' baginya, sehingga pada suatu hari jum'at ada seorang laki - laki yang duduk di sampingku dan dia tidur, lalu dia buang angin. Maka aku berkata : "Berdiri dan berWudhu'lah", dia berkata : "Aku tidak tidur", Aku berkata : "Bahkan engkau telah buang angin yang membatalkan Wudhu'!", Maka diapun bersumpah dengan nama Allah Swt, bahwa dia tidak buang angin dan berkata kepadaku : "Justru engkau yang buang angin." Maka hilanglah apa yang aku yakini tentang tidurnya orang yang duduk (tidak membatalkan Wudhu'), dan aku meyakini bahwa orang yang tidur dan hatinya telah tidak sadar (maka membatalkan Wudhu', meskipun dalam keadaan duduk). Namun perlu di perhatikan, bahwa tidur dan ngantuk berbeda. Tidur menutup hati untuk mengetahui keadaan hal - hal yang dzahir, sedangkan ngantuk memotong hati untuk mengetahui hal - hal yang batin (adapun yang dzahir masih di kenali). Dan orang yang ngantuk tidak di wajibkan Wudhu' bagaimanapun berat ngantuk tersebut, karena orang yang ngantuk masih bisa merasakan jika dia buang angin. Kehilangan akal, yaitu hilangnya akal (tidak sadar) dengan cara apapun seperti gila, pingsan, dan mabuk karena orang yang dalam keadaan demikian tidak mengetahui apakah Wudhu'nya batal atau tidak. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Jika tidur membatalkan Wudhu' maka pingsan dan gila lebih membatalkan lagi.
5. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang, Untuk masalah ada empat pendapat di kalangan para ulama. Pendapat pertama : Tidak batal Wudhu'nya walaupun dengan syahwat, dalilnya hadits Dari Talq bin Ali Ra berkata : "Seorang laki - laki berkata : “Aku telah menyentuh kemaluanku”, atau beliau berkata : "Seorang laki - laki menyentuh kemaluannya dalam shalat, apakah atasnya Wudhu'?” Maka Nabi Saw menjawab : "Tidak, dia hanyalah bagian dari tubuh engkau." Pendapat kedua : Batal Wudhu'nya walaupun tanpa syahwat, dalilnya hadits : Dari Busrah binti Shafwan Ra, ia berkata : "Adalah Rasulullah Saw berkata : “Barang siapa yang menyentuh dzakarnya, maka hendaklah dia berWudhu'." Sedangkan hadits Talq di atas ada lafal (menyentuh kemaluannya dalam shalat), tidak batal Wudhu'nya karena dia menyentuhnya dengan penghalang, sebab bukan tempatnya orang menyentuh kemaluannya dalam shalat tanpa penghalang. Dan tambahan lagi, hadits Talq di atas, di perselisihkan oleh para ulama akan keshahihannya. Pendapat ketiga : Batal kalau dengan syahwat. Pendapat ketiga ini menjama'kan dua pendapat di atas. Hadits Talq kita bawakan untuk sentuhan tanpa syahwat, sedangkan hadits Busrah kita bawakan untuk sentuhan dengan syahwat. Perkataan Rasulullah Saw bahwa dia hanyalah bagian dari tubuh engkau, ini adalah menunjukan Rasulullah Saw mengisyaratkan “Karena sesungguhnya engkau telah menyentuh kemaluanmu tanpa syahwat, maka seakan - akan engkau seperti menyentuh anggota - anggota tubuh yang lain. Namun jika engkau menyentuhnya dengan syahwat, maka batal Wudhu'mu karena ‘illahnya ada”. Pendapat keempat : Hanya di sunnahkan untuk berWudhu' walaupun menyentuhnya dengan syahwat. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebab di sebutkan dalam lafal hadits Talq َapakah atasnya Wudhu'?, maksudnya yaitu “apakah wajib baginya Wudhu'?”, maka Rasulullah Saw menjawab : ”Tidak”, sebab hukumnya Cuma sunnah. Jadi perintah Wudhu' yang ada pada hadits Busrah hanyalah sunnah, dan tidak wajib. Namun pendapat ini terbantah karena ada hadits lain yang jelas menunjukan wajibnya berWudhu', yaitu hadits dari : Dari Abu Hurairah Ra berkata : Rasulullah Saw bersabda : “Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya dan tidak ada hijab dan juga penutup antara tangannya dan farjinya tersebut, maka wajib atasnya Wudhu'. Nah, kesimpulannya adalah, sebagaimana perkataan Syaikh Utsaimin : “Seseorang jika menyentuh kemaluannya (dengan syahwat atau tanpa syahwat), maka di sunnahkan agar dia berWudhu'. Namun pendapat akan wajibnya (berWudhu' jika menyentuh dengan syahwat) sangat kuat, namun saya tidak memastikan hal ini. Namun hati – hatilah hendaknya dia berWudhu'." Apakah hukum menyentuh dubur sama dengan menyentuh kemaluan? Hukumnya adalah sama, karena dubur masuk dalam dengan keumuman lafal hadits Abu Ayub Ra dan Ummu Habibah, yaitu "Barang siapa yang menyentuh farjinya (secara bahasa farj artinya lubang) maka hendaklah dia berWudhu'. Dan juga hadits Abu Hurairah Ra di atas. Dari hadits Abu Hurairah Ra di atas bisa di ambil mafhum mukhalafah bahwa, jika menyentuhnya tidak dengan menggunakan tangan dari jari - jari hingga ke pergelangan tangan, namun madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa tidaklah membatalkan Wudhu' kecuali jika menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Sehingga menurut beliau menyentuh kemaluan dengan punggung tangan tidaklah membatalkan Wudhu'. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah Ra yang menunjukan penyentuhan dengan telapak tangan. Namun pendapat ini di bantah oleh Ibnu Hazm dan juga Ibnu Hajar, sebab maknanya adalah sampai, dan ini lebih umum bisa sampai ke kemaluan dengan telapak tangan atau dengan punggung tangan.
6. Menyentuh wanita, mengenai hal ini ada khilaf di antara para ulama, Pendapat pertama : Batal Wudhu'nya jika menyentuhnya dengan syahwat. Dalilnya adalah bahwasanya syahwat adalah memungkinkan timbulnya hadats. Dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) di sebutkan bahwa Nabi Saw pernah shalat, dan Nabi Saw menyentuh kaki ‘Aisyah ketika Nabi Saw akan sujud. Dan ‘Aisyah juga pernah menyentuh Rasulullah Saw yang sedang sujud shalat, beliau berkata : "Aku kehilangan Rasulullah Saw pada suatu malam, maka akupun mulai mencarinya dengan kedua tanganku, maka tanganku berada (menyentuh) pada kedua kakinya yang tegak dan beliau dalam keadaan bersujud." (Hadits riwayat Muslim dan An-Nasai). Dan Rasulullah Saw tidak membatalkan shalatnya. Kalau seandainya sekedar menyentuh wanita tanpa syahwat membatalkan Wudhu', tentu Rasulullah Saw sudah membatalkan shalatnya ketika itu. Batalnya Wudhu' hanya dengan sekedar menyentuh sangat menyulitkan, apalagi jika seseorang mempunyai ibu yang telah tua dan anak pamannya. Pendapat kedua : Batal Wudhu'nya walaupun menyentuh wanita tanpa syahwat, dalilnya : Firman Allah Swt (..atau menyentuh para wanita..), dan Allah Swt tidak metaqyidnya dengan syahwat. Adapun Nabi Saw menyentuh kaki ‘Aisyah mungkin saja karena ada kain penghalangnya (jadi tidak menyentuhnya langsung) atau mungkin beliau menyentuh dengan kukunya. Pendapat ketiga : Tidak batal Wudhu' secara mutlaq, walaupun menyentuh wanita dengan syahwat bahkan walaupun farji menyentuh farji. dalilnya adalah : Hadits dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi Saw pernah mencium sebagian istri - istrinya, kemudian beliau keluar untuk shalat tanpa berWudhu'. Adapun jawaban terhadap pendapat pertama dan yang kedua adalah bahwasanya yang di maksud dengan “menyentuh” dalam ayat, itu adalah maksudnya “berjima'” dan ini merupakan tafsir Ibnu Abbas Ra. Selain itu Allah Swt berfirman Al-Maidah Ayat 6 : "Wahai orang - orang yang beriman, jika…….maka cucilah wajah - wajah….dst….hingga kedua mata kaki." ini merupakan perintah untuk menghilangkan hadats kecil. Lalu Allah Swt berfirman : "Dan jika kalian berjunub maka bersucilah ini perintah untuk menghilangkan hadats besar. Kemudian Allah Swt menjelaskan sebab - sebab hadats kecil, yaitu (..atau salah seorang dari kalian buang air besar), kemudian Allah juga menjelaskan sebab hadats besar yaitu (atau kalian menyentuh wanita). Kalau menyentuh di artikan sekedar menyentuh, maka berarti Allah Swt tidak menyebutkan sebab hadats besar, dan ini merupakan kekurangan dalam kaidah balaghah.
7. Memandikan mayat, dalam hal ini ada pula dua pendapat : Pendapat pertama adalah batal Wudhu'nya, dengan dalil : Di riwayatkan dari Ibnu Umar Ra, Abu Hurairah Ra, dan Ibnu Abbas Ra, bahwasanya mereka memerintahkan orang yang memandikan mayat untuk berWudhu'. Orang yang memandikan mayat pada umumnya menyentuh kemaluan si mayat. Pendapat kedua adalah merupakan pendapat Ibnu Taimiyah : Tidak batal Wudhu', dalilnya adalah : Jika memang atsar tersebut shahih, maka mungkin saja perintah tersebut untuk istihbab (sunnah), menyatakan sesuatu membatalkan Wudhu' harus berhati - hati, sebab jika kita menyatakan Wudhu'nya batal, otomatis kita menyatakan bahwa shalatnya juga batal. Tidaklah benar bahwa menyentuh dzakar, membatalkan Wudhu' secara mutlaq (khilaf tentang masalah ini telah lalu). Kalaupun membatalkan, belum tentu yang memandikan ini menyentuh kemaluan si mayat. Pendapat pertama setuju bahwa jika kita memandikan orang lain yang masih hidup (mungkin karena sakit) maka Wudhu' kita tidak batal, maka demikian pula ketika kita memandikan dia setelah mati, tidak membatalkan Wudhu'.
8. Memakan daging unta, ini juga ada perbedaan pendapat antara para ulama, Pendapat pertama adalah : Batal Wudhu'nya, dengan dalilnya dari Jabir bin Samurah Ra, bahwasanya seorang laki - laki bertanya kepada Rasulullah Saw : “Apakah saya berWudhu' karena (memakan) daging kambing?” Nabi Saw menjawab : ”Kalau kamu mau, maka berWudhu'lah dan kalau tidak maka janganlah berWudhu'”. Dia berkata : ”Apakah saya berWudhu' karena (makan) daging unta?”, Nabi Saw menjawab : “Ya, berWudhu'lah karena (makan) daging unta!”. Dia berkata : ”Apakah saya (boleh) shalat di kandang kambing? Nabi Saw menjawab : ”Ya”. Dia bertanya : “Apakah saya (boleh) shalat di kandang unta?”, Nabi Saw menjawab : "Tidak”. (Hadits riwayat Muslim). Dalam hadits ini Nabi Saw mengaitkan Wudhu' jika makan daging kambing dengan masyi’ah (pilihan), hal ini menunjukan bahwasanya jika daging unta tidak ada pilihan lain. Hadits Al-Barra’, yaitu Rasulullah Saw bersabda : "BerWudhu'lah karena daging unta." Dan asalnya perintah adalah untuk wajib. Pendapat kedua : Tidak batal Wudhu', dengan dalilnya : dari hadits Jabir Ra, beliau berkata : “Perkara yang terakhir (yang di pilih oleh) Rasulullah Ra dari dua perkara, adalah meninggalkan Wudhu' karena (memakan) apa - apa yang terkena api.” Dan perkataan (apa - apa yang terkena api) adalah umum mencakup unta, dan hadits ini merupakan nasikh bagi hadits Jabir Ra yang pertama. Hadits Ibnu Abbas Ra, bahwasanya Nabi Saw bersabda : "Wudhu' itu karena apa - apa yang keluar bukan karena apa - apa yang masuk." Pendapat yang ketiga : Hukum berWudhu'nya hanyalah sunnah, (inilah pendapat Imam Syaukani), dengan dalil bahwasanya jika Nabi Saw memerintahkan suatu perkara, kemudian beliau menyelisihinya maka, menunjukan bahwa perintah tersebut tidaklah wajib. Dan yang rajih dan benar adalah pendapat yang kedua. Bantahan terhadap pendapat pertama dan ketiga : Hadits Jabir Ra yang kedua ini umum, sedangkan hadits - hadits yang di jadikan dalil oleh pendapat pertama adalah khusus, maka yang umum di bawakan kepada yang khusus. Jadi yang benar semua yang di sentuh api tidak perlu Wudhu' kecuali daging unta. Adapun menyatakan hadits ini sebagai nasikh, maka tidaklah benar sebab masih mungkin untuk di jama'kan, adapun hadits Ibnu Abbas Ra adalah dha’if (lemah). Pendapat yang menyatakan perintah berWudhu' karena memakan daging unta hanyalah sunnah adalah lemah, sebab sunnah Nabi Saw mencakup perkataan dan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau menyelisihi perkataan beliau, maka jika bisa di jama'kan maka tidak kita bawakan pada khususiyah Nabi Saw, karena kita di perintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan beliau. Apakah yang membatalkan Wudhu' itu hanya daging (otot)nya saja atau termasuk juga hati, jantung, dan yang lainnya. Ada khilaf juga di antara para ulama, di antara mereka ada yang menyatakan bahwa hanya daging yang membatalkan Wudhu', dalilnya : Jantung, hati, rempelo dan jeroan, itu tidaklah di sebut daging, kalau kita memerintahkan orang lain untuk membelikan daging, lantas dia membelikan kita jeroan maka tentu kita tidak menerimanya. Asal segala sesuatu adalah suci, sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya. Hikmah bahwa memakan daging unta membatalkan Wudhu' adalah ta’abbudiyah, oleh karena itu tidak bisa di qiaskan dengan yang lainnya. Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh unta kalau di makan maka akan membatalkan Wudhu', dalilnya adalah : Bahwasanya daging menurut bahasa arab mencakup seluruh bagian tubuh, sebagaimana firman Allah Swt, "Di haramkan bagi kalian bangkai dan darah dan daging babi", maka daging di sini mencakup seluruh bagian tubuh babi baik kulit, jeroan, dan yang lainnya. Rasulullah Saw tidak lagi menjelaskan bahwa selain daging tidak membatalkan Wudhu', padahal beliau mengetahui bahwa manusia tidak hanya memakan daging unta saja. Tidak ada dalam syari’at Muhammad Saw di halalkan sebagian anggota tubuh hewan dan di halalkan bagian yang lain. Telah shahih bahwasanya Nabi Saw memerintahkan berWudhu' karena meminum susu unta, maka bagian – bagian yang selain susu lebih aula untuk di perintahkan berWudhu'. Namun hadits tentang masalah ini di dhaifkan oleh sebagian ulama). Hal - hal yang mewajibkan mandi, adalah seluruh yang mewajibkan mandi (seperti keluarnya mani, bertemu dua khitan, mati, dll), maka mewajibkan Wudhu'. Ini adalah kaidah, oleh karena itu perlu mengetahui apa - apa saja yang mewajibkan mandi karena hadats besar mencakup hadats kecil, contohnya keluarnya mani mewajibkan mandi, dan dia keluar dua jalan (qubul dan dubur) maka dia juga membatalkan Wudhu'. Namun kaidah ini masih perlu di teliti lagi, sebab Allah Swt berfirman : "Dan jika kalian junub maka bersucilah", maka Allah Swt mewajibkan orang yang junub untuk mandi saja, dan tidak mewajibkan mencuci empat anggota Wudhu', oleh karena itu apa saja yang mewajibkan mandi maka dia hanya mewajibkan mandi kecuali ada ijma' atau dalil yang menyelisihinya. Oleh karena itu yang rajih adalah seorang yang junub jika dia berniat mengangkat hadats, maka sudah cukup, dan tidak ada hajat untuk berniat mengangkat hadats kecil.
Demikianlah akan beberapa perkara yang bisa membatalkan Wudhu'. Mengenai beberapa hal yang di perselisihkan ulama, maka berpeganglah kepada hadist atau riwayat yang sesuai dengan 'Uqulihim/akal atau logika yang sehat dan jernih, andai ragu – ragu juga, maka tinggalkanlah, sebab hal itu hanyalah sunnah.
Jika seseorang telah bersuci, kemudian timbul keraguan apakah dia telah berhadats atau tidak, maka kembali pada keyakinannya bahwa dia telah bersuci dan dia meninggalkan keraguannya itu, contohnya seseorang telah berWudhu' untuk shalat magrib, ketika adzan isya’ dan dia hendak shalat isya’ dia ragu apakah Wudhu'nya telah batal atau belum, maka dia kembali pada asalnya yaitu dia telah berWudhu', contoh yang lain, seseorang bangun malam lalu dia mendapati bahwa pada celananya ada yang basah namun dia merasa tidak bermimpi, dan dia ragu apakah yang basah itu mani atau bukan, maka dia tidak wajib mandi karena asalnya dia tidak mimpi.
Kalau seseorang melihat pada celananya ada bekas mani, namun dia ragu apakah ini mani semalam atau mani dari malam – malam sebelumnya, maka hendaknya dia menganggap bahwa itu adalah mani semalam, karena ini sudah pasti dan jelas baginya, sedangkan malam - malam sebelumnya masih di ragukan, dan dia menqadla shalat – shalatnya yang di tinggalkannya semalam, dengan dalilnya yaitu : Dari Ibnu Abbas Ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian ketika dia sedang shalat lalu meniup duburnya maka dia khayalkan kepadanya bahwa dia telah berhadats padahal dia tidak berhadats, jika dia mendapati hal itu, maka janganlah dia berpaling (membatalkan) shalatnya hingga dia mendengar suara, atau dia mencium bau.” (Hadits ini di keluarkan oleh Al-Bazzar, dan asal hadits ini ada di shahihain dari hadits Abdullah bin Zaid Ra, dan di keluarkan juga oleh Muslim dari Abu Hurairah Ra yang sama dan semisal hadits ini).
Dan juga Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id Ra secara marfu’, yakni : "Jika syaithan datang kepada salah seorang dari kalian dan berkata,“Sesungguhnya engkau telah berhadats.” maka hendaknya dia berkata : ”Engkau
dusta.” Ibnu Hibban juga mengeluarkannya dengan lafal "Hendaknya dia mengucapkannya dalam hatinya." begitu pula sebaliknya, jika dia yakin telah berhadats lalu dia ragu apakah dia telah bersuci atau belum, maka asalnya dia tetap berhadats. Dan ini adalah qias‘aks yang di bolehkan dalam syari’at, dan jika timbul keraguan setelah selesai melakukan ibadah, maka tidak ada pengaruhnya keraguan tersebut sama sekali, misalnya seseorang berWudhu' kemudian dia ragu apakah dia telah berkumur - kumur atau setelah selesai shalat dia ragu, apakah dia telah membaca surat Al-Fatihah, atau dia hanya sujud sekali, maka janganlah ia memperhatikan keraguan tersebut, karena asalnya adalah ibadahnya sah, dan ini berlaku untuk semua ibadah.
WAJIBNYA WUDHU' JIKA INGIN
MENYENTUH AL-QUR'AN
Mengenai persoalan ini juga ada perbedaan pendapat di antara para ulama, yaitu : Wajib berWudhu' jika menyentuh mushaf, dengan dalil : Firman Allah Swt َ"Tidak menyentuhnya kecuali yang di sucikan", dan sesuai dengan hadits ini : Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya : Bahwasanya Nabi Saw menuliskan kepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Pada hal ini, Syaikh Utsaimin pada mulanya condong kepada pendapat Daud Adz-Dzahiri (akan di lampirkan nanti), namun setelah beliau memperhatikan hadits tadi, maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah Swt, yaitu "Melainkan untuk mensucikan kalian."
Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabi Saw mengungkapkan mukmin dengan tahir, karena menggunakan mukmin lebih mengena daripada tahir, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, sebagaimana yang di katakan oleh Ishaq Al-Mawarzi : "Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) : ”Apakah seorang laki - laki (boleh) membaca Al-Qur’an tanpa Wudhu'?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi janganlah dia membaca dengan (menyentuh) mushaf selama dia belum berWudhu'.” Ishaq berkata : ”(Hukumnya) sebagaimana yang di katakan oleh Imam Ahmad karena telah shahih dari Nabi Saw,"Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktek para shahabat Nabi Saw dan para tabi'in.
Saya berkata dalam hal ini adalah berwudhu' sesuai dengan firman Allah Swt dan riwayat ini, yaitu : “Dan yang shahih dari para sahabat yaitu yang di riwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqas Ra, bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqas Ra, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad : ”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata : ”Ya”, maka dia berkata : ”Berdirilah dan berWudhu'lah”, maka akupun berdiri dan berWudhu' kemudian aku kembali.” Ini di riwayatkan oleh Malik dan Baihaqi dengan sanad yang shahih.
Adapun kitab - kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa Wudhu', sebab jumlah tafsirnya lebih banyak di bandingkan jumlah Al-Qur’an dan itu bukanlah Al-Qur'an atau Mushaf asli, begitu pula dengan kitab – kitab yang lain yang terdapat pada ayat - ayat Al-Qur’an di dalamnya, namun jumlahnya sedikit, dalilnya adalah bahwa Nabi menulis kitab kepada orang - orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat - ayat Al-Qur’an.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : "Tidak wajib berWudhu' bila menyentuh mushaf, dengan dalilnya : Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shahih dari Aisyah, bahwasanya Nabi Saw berdzikir dalam seluruh keadaan suci maupun tidak. Adalah Nabi Saw berdzikir kepada Allah Swt dalam setiap dalam hal dan keadaan. (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat di jadikan hujjah, bagaimana pula jika terdapat empat kemungkinan.
Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqas Ra, kalaupun seandainya shahih, maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqas kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab, sebab asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an, dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shahih dan sharih, sebab dalam hal ini permasalahannya adalah hanya wudhu' sebelumnya.
PERKARA - PERKARA YANG
DI SUNNAHKAN UNTUK BERWUDHU'
Wudhu' dalam hal ini sangat di perlukan hukumnya untuk beberapa hal, yaitu :
1. Ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah Swt dengan dalilnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Musa Ra, bahwasanya beliau mengabarkan kepada Nabi Saw dengan khabarnya (pesannya) kepada Abu Amir Ra, bahwasanya beliau (Abu Amir Ra) berkata kepada dia (Abu Musa Ra) : "Sampaikan pada Nabi Saw salam dariku, dan katakanlah padanya “Mohon ampunlah (kepada Allah Swt) untukku.” Ketika dia (Abu Musa Ra) mengabarkan kepada Nabi Saw, maka Rasulullah Saw meminta air, kemudian berWudhu' dengan air tersebut, kemudian mengangkat kedua tangannya, lalu berkata : “Ya Allah, berilah ampunan bagi hambamu Abu Amir…dst (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
2. Ketika akan tidur, ini sesuai dengan hadits Bara’ bin Azib Ra, beliau berkata : Nabi Saw bersabda : "Jika engkau mendatangi tempat berbaringmu, maka berWudhu'lah seperti Wudhu'mu ketika (akan) shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi (tubuh)mu yang kanan." (Hadist riwayat Bukhari).
3. Setiap kali berhadats, dalilnya sesuai dengan hadits Buraidah Ra, beliau berkata : Rasulullah Saw mendapati pagi pada suatu hari, maka Beliau memanggil Bilal dan berkata : ”Wahai Bilal dengan apa engkau mendahului aku ke surga?, sesungguhnya aku memasuki surga tadi malam, maka aku mendengar suara langkah engkau di depanku.” maka Bilal menjawab : ”Tidaklah sama sekali aku beradzan kecuali aku shalat dua raka'at dan tidak pernah sama sekali aku berhadats kecuali aku berWudhu'.” (Hadist riwayat Ahmad).
4. Setiap akan shalat (walaupun belum batal Wudhu'nya), ini adalah sesuai dengan hadits Abu Hurairah Ra, beliau berkata : "Rasulullah Saw bersabda : "Kalaulah tidak memberatkan umatku akan aku perintah mereka untuk berWudhu' setiap shalat dan untuk bersiwak setiap berWudhu'." (Hadist riwayat Ahmad).
5. Ketika mengangkat mayat, sٍesuai dengan hadits Abu Hurairah Ra secara marfu’ : "Barangsiapa yang memandikan mayat, maka mandilah, dan barang siapa yang mengangat mayat, maka berWudhu'lah (Hadist riwayat Abu Dawud).
6. Setelah muntah, ini dasarnya sesuai dengan hadits Ma’dan dari Abu Darda’ Ra, bahwasanya Nabi Saw muntah, lalu beliau berbuka, kemudian berWudhu'." (Hadist riwayat Tirmidzi).
7. Karena memakan makanan yang tersentuh api (di bakar), ini dasarnya sesuai dengan sabda Nabi Saw : "BerWudhu'lah, karena memakan makanan yang tersentuh api." (Hadist riwayat Muslim). Kemudian telah tsabit dari hadits Ibnu Abbas Ra dan Amr bin Umayyah Ra dan Abu Rafi’ Ra, bahwasanya Nabi Saw makan daging yang tersentuh api, kemudian beliau berdiri dan shalat dan tidak berWudhu'." (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa di sunnahkannya Wudhu' setelah memakan daging yang tersentuh api.
8. Orang yang junub ketika akan makan, ini sesuai dengan hadits Aisyah Ra, beliau berkata : "Rasulullah Saw, jika beliau junub, kemudian ingin makan atau tidur, maka beliau berWudhu' sebagaimana Wudhu' (untuk) shalat." (Hadist riwayat Muslim)
9. Sebab ingin mengulangi jimak, ini dasarnya dan sesuai dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : "Jika salah seorang dari kalian mendatangi (menjima') istrinya, kemudian dia ingin mengulanginya, maka hendaklah dia berWudhu'." (Hadist riwayat Muslim). Adapun mandi, maka Nabi Saw mengelilingi istri - istrinya dengan sekali mandi." (Hadist riwayat Muslim).
10. Ketika orang yang junub ingin tidur, namun tidak mandi junub, maka hal ini sesuai dengan hadits Aisyah Ra, ketika beliau di tanya : “Apakah Rasulullah Saw tidur dan dia dalam keadaan junub?”, maka Aisyah Ra menjawab : “Benar, dan dia berWudhu'.” (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim). Dan juga ada hadits dari Ibnu Umar Ra, bahwasanya Umar Ra meminta fatwa (bertanya) kepada Nabi Saw, maka dia (Umar Ra) berkata : ”Apakah salah seorang dari kami tidur dan dia dalam keadaan junub?”, Maka Nabi Saw berkata : “Hendaknya dia berWudhu' kemudian hendaklah dia tidur hingga dia mandi jika dia kehendaki.” (Hadist riwayat Bukhari dan Muslim).
Saya berkata :”Ada riwayat dari Nabi Saw, bahwasanya terkadang beliau mandi sebelum beliau tidur, maka hal ini adalah : 1. Seorang yang tidur tanpa Wudhu' dan tanpa mandi, maka ini makruh dan menyelisihi sunnah. 2. Seorang yang beristinja' dan berWudhu' sebagaimana Wudhu'nya shalat (kemudian tidur), maka ini adalah boleh. 3. Seorang berWudhu' dan mandi (kemudian tidur), maka ini adalah yang sempurna.
Demikianlah halnya akan sifat wudhu'nya Rasulullah Saw, yang mana ini sangat penting di ketahui, guna untuk berusaha menyempurnakan tata cara wudhu' kita, harus di taati berdasarkan dalil dan riwayat tata cara wudhu' beliau, karena jika ibadah yang di luar sunnah beliau, maka hukumnya tertolak, berarti ibadah adalah sia – sia belaka.
O.. gtu yah.. terima kasih pakk! atas infonya saya bersyukur sekali bisa baca artikel ini..
BalasHapusTrima kasih,,,,
BalasHapusSangat bermanfaat