Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Apakah Hutang Menghalangi Kewajiban Zakat?

Salah satu syarat harta yang wajib dizakati adalah dimiliki secara penuh, artinya bahwa seseorang memiliki harta tersebut secara penuh, tidak ada pihak lain yang bersyarikat dalam harta itu sehingga dia bebas menggunakan harta itu tanpa ada yang menghalanginya.

Permasalahan muncul pada harta hutang yang di satu sisi seseorang dapat menggunakannya secara bebas karena sudah menjadi miliknya, namun di sisi lain ada kewajiban mengembalikan kepada orang yang berpiutang, sehingga seakan-akan ada dua kepemilikan terhadap harta hutang itu.

Apalagi saat ini, banyak sekali orang yang mengembangkan proyek bisnis dengan hutang yang muncul dari transaksi bisnis yang bisa berefek kepada pembayaran zakat, apabila kita memiliki harta tapi juga memiliki hutang, apakah hutang tersebut berpengaruh dalam zakatnya?


Definisi Hutang

Yang dimaksudkan dengan hutang disini adalah semua jenis hutang, baik hutang yang diakibatkan perbuatan yang merusakkan atau menghilangkan barang orang lain atau hutang yang diakibatkan oleh transaksi, misalnya transaksi jual-beli atau transaksi yang lain termasuk akad nikah yang maharnya masih dihutang.

Kesepakatan Para Ulama
Jika seseorang memiliki harta yang mencapai nishab dan telah berlalu satu tahun, namun dia masih mempunyai hutang kepada orang lain, maka para ahli fiqh sepakat :
1. Hutang tidak menghalangi kewajiban zakat bila hutang tersebut menjadi tanggungan orang yang berhutang setelah kewajiban zakat
menghampirinya. (Lihat Pada Bidayatul Mujtahid 3/309, Mughni Al-Muhtaj 2/125, Al-Mughni 4/266).
2. Hutang tidak menghalangi kewajiban zakat bila hutang tersebut tidak mengurangi harta dari nishab. (Lihat Pada Bada’i Ash-Shana’i 2/12, Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’ 2/118, Mughni Al-Muhtaj 2/125, Al-Mughni 4/266).

Perbedaan Pendapat
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah hutang menghalangi kewajiban zakat pada harta yang dimiliki oleh orang yang memiliki tanggungan hutang diluar dua keadaan (yang telah disepakati para ulama) di atas?

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yakni :

a. Hutang menghalangi kewajiban zakat secara mutlak, baik pada harta yang terlihat (zhahirah) maupun harta yang tidak terlihat (bathinah), baik hutang itu telah jatuh tempo atau belum, baik hutang itu terkait hak Allah atau hak manusia, serta sejenis dengan harta yang wajib dizakati atau bukan.

Ini adalah pendapat (qaul qadim) Imam Asy-Syafi'i (Lihat Al-Bayan Karya Al-Imrani 3/146 dan Raudhah Ath-Thalibin 2/197) dan riwayat paling shahih di kalangan Hanabilah. (Lihat Al-Mughni 4/263). Sebagian Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menetapkan syarat bahwa hutang yang menghalangi kewajiban zakat yaitu hutang yang jatuh tempo. (Lihat Al-Hawi 3/309 dan Asy-Syarhul Kabir 6/340).

Penulis Kitab Kasysyaful Qanna' 2/13, mengatakan bahwa kewajiban zakat terhalangi oleh hutang sesuai dengan kadar hutangnya, artinya jika harta yang tersisa masih cukup nishab, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakatnya, misalnya dia mempunyai seratus ekor kambing, namun dia juga memikul hutang yang setara dengan enam puluh ekor, maka dia harus menzakati empat puluh yang tersisa karena angkanya masih mencapai nishab sempurna.

Apabila hutangnya mencapai kadar enam puluh satu ekor, maka tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat dari jumlah kambing yang tersisa, karena yang tersisa kurang dari nishab. (Lihat Pada Kasysyaful Qanna' 2/13.

Dalil Pendapat Yang Pertama
Pendapat pertama berargumen dengan beberapa alasan di antaranya adalah :

1. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra, bahwa Nabi Saw bersabda : "Apabila seseorang mempunyai seribu dirham dan dia juga menanggung hutang seribu dirham maka tidak wajib zakat atasnya."

Ibnu Qudamah mengatakan, bahwa hadits ini merupakan nash dalam menetapkan bahwa hutang yang mencapai nishab menggugurkan kewajiban zakat, namun menjadikan hadits di atas sebagai dalil tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih dinisbatkan kepada Rasulullah Saw, hadits ini disampaikan Ibnu Qudamah dengan menyebut sanad dari Malikiyah sebagaimana dalam Al-Mughni, 4/264, di mana dia berkata, "Para murid Imam Malik meriwayatkan dari Umair bin Imran dari Syuja' dari Nafi’ dari Ibnu Umar Ra, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, ...Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan hadits di atas.

Namun dari sisi makna terdapat beberapa atsar yang serupa dari Sulaiman bin Yasar, Malik bin Anas dan Al-Laits bin Sa'ad dalam Kitab Al-Amwal Karya Abu Ubaid hlm. 443. Oleh karena itu Ibnu Abdul Hadi dalam Kitab Tanqih Tahqiq Ahadits At-Ta'liq 2/142 berkata, "Hadits ini mungkar, tidak jauh kalau dikatakan maudhu' (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Umair bin Imran.

Sedangkan Ibnu Adi dalam Al-Kamil, 5/70 menilai Umair bin 'Imran adalah dhaif (perawi lemah) dan Al-Uqaili menyebutkannya dalam Adh-Dhu'afa 3/318, demikian juga dengan Ibnul Jauzi memasukkannya dalam Adh-Dhu'afa Wal Matrukin 2/234. Wallahu a'lam.

2. Atsar dari Utsman Ra, bahwa dia berkata : "Ini adalah bulan pembayaran zakat kalian, barangsiapa memikul hutang maka hendaknya dia membayar hutangnya sehingga harta kalian terkumpul lalu kalian mengeluarkan zakat darinya." (Diriwayatkan oleh Malik dalam Kitab Al-Muwaththa’ No. 596).

Utsman Ra mengucapkannya di hadapan para Sahabat dan mereka tidak menyanggahnya, jadi hal ini menunjukkan bahwa mereka setuju. ( Lihat Pada Al-Mughni 4/264). Disini Utsman Ra memerintahkan orang-orang membayar hutang sebelum mengeluarkan zakat, agar zakat bisa dikeluarkan dari sisa harta yang telah terpotong oleh hutang, karena para Sahabat tidak mengingkarinya, maka ini menunjukkan bahwa mereka sepakat dengan yang disampaikan Utsman Ra.

3. Nabi Saw mewajibkan zakat atas orang-orang kaya dan memerintahkan mereka agar menyerahkannya kepada orang-orang fakir, sebagaimana dalam sabda beliau, "Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya dari kalian dan memberikannya kepada orang-orang fakir dari kalian." (H.R. Al-Bukhari No. 1395 dan Muslim No. 19).

Orang yang berhutang memerlukan harta untuk membayar hutangnya sebagaimana orang fakir memerlukan zakat yang dikeluarkan oleh orang yang kaya, sehingga orang yang berhutang tidak patut disebut kaya yang membuatnya wajib zakat.

Nabi Saw bersabda, "Tidak ada sedekah kecuali berasal dari kekayaan (kecukupan)." Bahkan, orang yang berhutang bisa saja disebut fakir, sehingga dia berhak menerima zakat karena dia termasuk gharim.

4. Lemahnya kepemilikan orang yang memikul hutang karena pemilik uang (kreditor) berkuasa dan berhak menuntutnya agar membayar hutangnya serta berhak atas harta itu.

5. Pemilik piutang (kreditor) tentu akan menzakatinya juga, seandainya orang yang berhutang (debitur) juga mengeluarkan zakatnya, itu berarti zakatnya berganda (double), karena pemilik piutang (kreditur) dan penghutangnya (debitur) sama-sama membayar zakatnya dan ini tidak boleh.

6. Qiyas (analogi) kepada ibadah haji, sebagaimana hutang bisa menghalangi kewajiban haji, maka hutang juga bisa menghalangi kewajiban zakat, namun qiyas ini tersanggah, karena termasuk qiyas yang disertai perbedaan, karena antara zakat dan haji ada beberapa perbedaan sehingga zakat tidak bisa diqiyaskan ke haji.

Diantara perbedaan itu adalah :

  • Zakat tetap wajib atas anak-anak dan orang gila, sementara ibadah haji tidak wajib atas mereka.
  • Haji juga wajib atas orang-orang fakir di Makkah, sementara zakat tidak wajib atas mereka.

7. Zakat diwajibkan untuk membantu orang-orang fakir dan sebagai ungkapan rasa syukur dari orang kaya, sementara pemikul hutang butuh harta untuk melunasi hutangnya, tidak termasuk tindakan bijak, menutup mata dari kebutuhan pemilik uang demi menutup kebutuhan orang lain, definisi kaya belum terwujud pada diri orang yang menanggung hutang.

b. Hutang tidak menghalangi zakat sama sekali, ini adalah pendapat yang lebih terkenal di kalangan Syafi'iyah dan sebuah riwayat dikalangan Hanabilah.

Dalil Pendapat yang Kedua
Para Ulama yang berpendapat dengan pendapat yang kedua ini berargumentasi dengan beberapa dalil, di antaranya adalah :

1. Keumuman nash-nash syariat yang mewajibkan zakat pada harta, seperti firman Allah : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (Q.S. At-Taubah 9 :103).

2. Tidak ada dalil dari al-Qur’an, sunnah dan ijma' yang menetapkan bahwa hutang bisa menggugurkan kewajiban zakat dari harta yang berkait dengan hutang.

3. Kepemilikan nishab pada harta masih berlaku, kalau begitu harta itu adalah miliknya dan hutang yang ditanggungnya tidak merubah status harta itu menjadi bukan miliknya, sehingga zakatnya tetap ditanggung oleh dia.

c. Hutang menghalangi atau menggugurkan kewajiban zakat pada harta bathinah (yang tidak terlihat) dan tidak menggugurkan kewajiban zakat pada harta yang zadhirah (tampak) dan ini adalah pendapat madzhab Malikiyah, sebuah pendapat dalam madzhab Syafi'iyah dan sebuah riwayat dalam madzhab Hanabilah.

Pengertian Harta Zhahirah dan bathinah ini dijelaskan Qadhi Abu Ya'la dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hlm. 115 dengan pernyataan, "Harta yang dizakati itu terbagi menjadi dua yaitu zadhirah (yang tampak) dan bathinah (yang tidak terlihat). Harta yang zhahirah adalah harta yang tidak mungkin disembunyikan, seperti tanaman, buah-buahan dan hewan ternak. Sedangkan yang bathinah adalah harta yang mungkin disembunyikan seperti emas, perak dan perniagaan." (Lihat Mu'jam Lughah Al-Fuqaha hlm. 71).

Walaupun saat ini, harta perniagaan tidak sepenuhnya termasuk harta yang bathinah, karena berbagai bentuk perniagaan di zaman ini telah menjadi harta yang paling tampak, ini karena ia harus menjalani proses birokrasi dan pemasaran yang menuntut diiklankannya barang perniagaan tersebut.

Dalil Pendapat Ketiga
Mereka yang berpegang dengan pendapat ini berargumentasi dengan seluruh dalil pendapat pertama, hanya saja mereka mengecualikan harta-harta yang zhahiriyah, mereka berpendapat bahwa hutang tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat dari harta yang zadhirah.

Disamping dalil-dalil pada pendapat pertama, ada beberapa alasan lainnya, di antaranya adalah :

1. Nabi Saw mengutus para petugas zakat dan para juru taksir untuk mengambil zakat ternak, biji-bijian dan buah-buahan dan mereka tidak bertanya kepada para pemilik harta tentang hutang. Ini menunjukkan bahwa hutang tidak menghalangi kewajiban zakat pada harta-harta tersebut.

2. Penglihatan orang-orang fakir lebih terfokus kepada harta-harta zhahirah (yang tampak), sehingga kewajiban zakat padanya lebih ditekankan.

3. Pertanian dan hewan ternak tumbuh dengan sendirinya, sehingga kenikmatan padanya lebih sempurna, kewajiban zakat padanya lebih kuat sebagai wujud syukur nikmat, sehingga hutang tidak berpengaruh dalam menggugurkannya, lain halnya dengan uang.

4. Hanafiyah berdalil atas pengecualian hasil bumi dengan menyatakan bahwa zakatnya adalah hak bumi, kekayaan pemiliknya tidak menjadi bahan pertimbangan dan ia tidak gugur oleh sebab hak bani Adam berupa hutang.


Tarjih

Pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa hutang menghalangi kewajiban zakat pada orang yang berhutang dengan syarat-syarat :

1. Hutang sudah jatuh tempo dan penghutang tidak mampu membayarnya, hutang yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat pada harta debitur, ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.

Alasannya karena tidak ada kepemilikan sempurna saat hutang telah jatuh tempo disebabkan pemilik piutang berhak menagihnya dan alasan ini tidak ada, apabila hutang belum jatuh tempo, kecuali atas cicilan yang menjadi hak pemilik piutang, selain itu tetap masih menjadi hak pemilik hutang secara utuh.

2. Orang yang berhutang tersebut tidak memiliki 'Urudh lii Qinyah diluar kebutuhan pokoknya, seperti 'Urudh lil Qinyah yang bisa dijual saat dia bangkrut untuk menutupi hutangnya. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah, madzhab Malikiyah, sebuah
pendapat dalam madzhab Hanabilah dan dipilih oleh Abu Ubaid, hal ini dengan pertimbangan berikut :

a. Harta kekayaan tersebut termasuk harta milik debitur (orang yang berhutang).

b. Harta tersebut memiliki nilai yang memungkinkan pemiliknya untuk menjualnya dan beraktifitas dengan harta tersebut saat dibutuhkan.

c. Pihak kreditur (orang yang memberikan hutang) berhak meminta debitur menjual harta tersebut guna menutupi hutangnya bila ia tidak bisa melunasinya dengan harta yang lain.

b. Pendapat yang memandang bahwa jenis harta tersebut tidak bisa digunakan untuk menutup hutang yang menghalangi kewajiban zakat, akan menyebabkan terhapusnya kewajiban zakat dari orang kaya yang menginvestasikan harta mereka pada 'Urudh lil Qinyah (barang-barang yang tidak diperjual belikan) atau di bidang investasi berkembang seperti pabrik-pabrik.

Misalnya, orang yang memiliki satu pabrik yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhan pokoknya, lalu ia membeli pabrik lain dengan uang hutang, sementara hutang tersebut menghabiskan seluruh hasil dua pabrik tersebut, berdasarkan pendapat ini, dia tidak berkewajiban membayar zakat, padahal dia kaya karena memiliki banyak barang dan pabrik.

3. Orang yang memiliki tanggungan hutang tersebut bukan orang kaya yang gemar mengulur-ulur pembayaran hutang, bila dia tergolong orang mampu namun gemar mengulurulur pembayaran hutangnya, maka hutang tersebut tidak menghalangi atau tidak menggugurkan kewajiban zakat atasnya.

Inilah kandungan perkataan Utsman Ra yang memberikan dua pilihan, yakni : membayar hutang kepada pemiliknya atau menzakati hartanya dan saat itu hutang tidak mengurangi nilai nishabnya. Wallahu a'lam.

Posting Komentar untuk "Apakah Hutang Menghalangi Kewajiban Zakat?"