Taqwa dan Bashirah
Dari sejumlah ayat Al-Qur'an dan riwayat hadist bisa di simpulkan, bahwa taqwa memberi bashirah (penglihatan batin) yang benar, sehingga orang yang taqwa mampu menentukan dan mengejar kebaikan (maslahat) realitas dunia dan akhiratnya, sebagai misal, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (pembeda).” (Q.S. Al-Anfal : 29).
Adalah taqwa yang sanggup memberikan penglihatan batin, sehingga dapat menemukan jalan kebahagiaan dan kesengsaraan, maslahat dan mafsadat (kebinasaan) anda, dalam ayat lain, Allah berfirman, “Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 282).
Memang Al-Qur'an itu di turunkan kepada semua umat manusia, akan tetapi, mereka yang mendapatkan hidayah dan petunjuk dari Al-Qur'an hanyalah orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “ (Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran : 138).
Amirul Mukminin Ali Ra berkata, “Sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah obat bagi penyakit hatimu dan penerang bagi kegelapan sanubarimu.” Rasulullah Saw bersabda, “Perangilah hawa nafsumu agar ilmu dan hikmah singgah ke dalam hatimu.” Beliau juga bersabda, “Seandainya setan tidak mengitari hati anak keturunan Adam, niscaya mereka akan melihat alam malakut.”
Imam Ash-Shadiq Ra meriwayatkan dari ayah beliau (Imam Al-Baqir Ra) yang berkata, “Tiada sesuatu yang yang lebih merusak hati daripada perbuatan dosa, hati memang dosa sampai ia takluk menghadapi dosa sehingga menjadi hati yang terbalik.”
Demikian pula dalil ayat dan hadist yang sejenis dapat di simpulkan yang intinya menyebutkan taqwa membawa penerang dan pencerahan akal serta menguatkan daya jangkauan dan perbedaan, akal adalah jauhar yang berharga yang di ciptakan bagi keberadaan manusia, sehingga dapat mengetahui dan membedakan antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan keburukan dan faktor faktor kebahagiaan dan kesengsaraan dengan baik.
Ringkasnya antara kewajiban dan pelarangan, dalam hal ini, Amirul Mukminin Ali Ra berkata, “Akal adalah utusan kebenaran.” Memang, pengutusan (risalah) yang penting itu telah di amanatkan kepada akal yang mampu menunaikannya, apabila kekuatan dan instink berada dalam kekuasaan akal, niscaya keduanya tidak akan bertentangan dan merusak tatanan akal, tapi sayang sekali, hawa nafsu adalah musuh akal dan tidak akan membiarkan orang berbuat baik.
Imam Ali Ra berkata, “Hawa nafsu adalah musuh akal“, beliau juga berkata, “Barangsiapa yang tidak dapat menguasai nafsunya, tidak akan pernah menguasai akalnya.” Beliau juga mengatakan, “Sifat ‘ujub (bangga diri) akan merusak akal.” Dan juga berkata, “Orang yang keras hati tidak mempunyai pandangan yang benar.”
Memang benar, kalau pemerintahan dan manajemen tubuh berada dalam kendali akal, maka anggota tubuh bisa bekerja sama, namun keberadaan kecenderungan nafsu menjadi rintangan terbesar bagi akal, apabila salah satu dari kecenderungan itu atau kesemuanya di permukaan dalam keadaan labil, maka ia akan terjerumus dalam kelaliman, kerusakan dan kesesatan.
Kalau begitu, mampukah akal menunaikan tugasnya dengan baik? Manusia memang punya akal, namun ia tidak menyadarinya dan tidak bisa membedakan, ia punya penerangan, namun hawa nafsu, syahwat dan amarah telah menyelimutinya bak awan gelap atau asap tebal, cahayanya terpadamkan sehingga ia tidak bisa melihat realitas dan kebenaran.
Budak nafsu ini, bisakah mengetahui maslahat-maslahat nyata pada dirinya dan mengalahkan kekuatan penganiaya serta menggulingkan kekuasaan syahwat? Manusia yang sombong, kapankah ia bisa mengenal aib-aib dan kekurangan dirinya sehingga dapat di perbaiki? Demikian halnya dengan sifat-sifat buruk lainnya, seperti amarah, dengki, tamak, dendam, fanatik, mencela, cinta dunia, harta dan kedudukan serta kekuasaan dan lain sebagainya yang semestinya ia jauhi.
Apabila salah satu atau lebih dari sifat-sifat tersebut menguasai jiwa, maka akal dengan sendirinya tidak dapat melihat kenyataan-kenyataan dan apabila akal hendak menolak kecenderungan kecenderungan itu dengan melakukan suatu amal, maka kecenderungan-kecenderungan itu akan memulainya dengan keangkuhan dan kesombongan atau dengan memberontak dan berteriak keras.
Kecenderungan nafsu telah menggelapkan jiwa lantaran akal di kalahkan dan di lumpuhkan dalam melaksanakan tugasnya, ketika manusia sudah tertawan oleh nafsu, maka nasihat-nasihat yang di tujukan kepadanya pun tidak akan membuahkan hasil, bahkan kian menambah hitamnya hati.
Oleh karena itu, taqwa bisa di katakan sebagai faktor paling utama dan berpengaruh terhadap bashirah (penglihatan hati), penerangan dan untuk mengetahui kewajiban, akhirnya, perlu kami ingatkan di sini, bahwa ketika taqwa di katakan dapat menambah penglihatan, itu berkenaan dengan akal praktis dan penetapan kewajiban.
Dengan kata lain, perintah dan larangan di kenal lewat taqwa, ia tidak berkaitan dengan akal maupun pengetahuan tentang hakikat-hakikat, sebab, orang yang tidak taqwa bukan berarti ia tidak dapat mengetahui masalah-masalah yang pasti (riyadhi) dan alami (tabi’i), bagaimanapun, taqwa berpengaruh terhadap pemahaman dan kecerdasan sampai batas tertentu.
Adalah taqwa yang sanggup memberikan penglihatan batin, sehingga dapat menemukan jalan kebahagiaan dan kesengsaraan, maslahat dan mafsadat (kebinasaan) anda, dalam ayat lain, Allah berfirman, “Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 282).
Memang Al-Qur'an itu di turunkan kepada semua umat manusia, akan tetapi, mereka yang mendapatkan hidayah dan petunjuk dari Al-Qur'an hanyalah orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “ (Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran : 138).
Amirul Mukminin Ali Ra berkata, “Sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah obat bagi penyakit hatimu dan penerang bagi kegelapan sanubarimu.” Rasulullah Saw bersabda, “Perangilah hawa nafsumu agar ilmu dan hikmah singgah ke dalam hatimu.” Beliau juga bersabda, “Seandainya setan tidak mengitari hati anak keturunan Adam, niscaya mereka akan melihat alam malakut.”
Imam Ash-Shadiq Ra meriwayatkan dari ayah beliau (Imam Al-Baqir Ra) yang berkata, “Tiada sesuatu yang yang lebih merusak hati daripada perbuatan dosa, hati memang dosa sampai ia takluk menghadapi dosa sehingga menjadi hati yang terbalik.”
Demikian pula dalil ayat dan hadist yang sejenis dapat di simpulkan yang intinya menyebutkan taqwa membawa penerang dan pencerahan akal serta menguatkan daya jangkauan dan perbedaan, akal adalah jauhar yang berharga yang di ciptakan bagi keberadaan manusia, sehingga dapat mengetahui dan membedakan antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan keburukan dan faktor faktor kebahagiaan dan kesengsaraan dengan baik.
Ringkasnya antara kewajiban dan pelarangan, dalam hal ini, Amirul Mukminin Ali Ra berkata, “Akal adalah utusan kebenaran.” Memang, pengutusan (risalah) yang penting itu telah di amanatkan kepada akal yang mampu menunaikannya, apabila kekuatan dan instink berada dalam kekuasaan akal, niscaya keduanya tidak akan bertentangan dan merusak tatanan akal, tapi sayang sekali, hawa nafsu adalah musuh akal dan tidak akan membiarkan orang berbuat baik.
Imam Ali Ra berkata, “Hawa nafsu adalah musuh akal“, beliau juga berkata, “Barangsiapa yang tidak dapat menguasai nafsunya, tidak akan pernah menguasai akalnya.” Beliau juga mengatakan, “Sifat ‘ujub (bangga diri) akan merusak akal.” Dan juga berkata, “Orang yang keras hati tidak mempunyai pandangan yang benar.”
Memang benar, kalau pemerintahan dan manajemen tubuh berada dalam kendali akal, maka anggota tubuh bisa bekerja sama, namun keberadaan kecenderungan nafsu menjadi rintangan terbesar bagi akal, apabila salah satu dari kecenderungan itu atau kesemuanya di permukaan dalam keadaan labil, maka ia akan terjerumus dalam kelaliman, kerusakan dan kesesatan.
Kalau begitu, mampukah akal menunaikan tugasnya dengan baik? Manusia memang punya akal, namun ia tidak menyadarinya dan tidak bisa membedakan, ia punya penerangan, namun hawa nafsu, syahwat dan amarah telah menyelimutinya bak awan gelap atau asap tebal, cahayanya terpadamkan sehingga ia tidak bisa melihat realitas dan kebenaran.
Budak nafsu ini, bisakah mengetahui maslahat-maslahat nyata pada dirinya dan mengalahkan kekuatan penganiaya serta menggulingkan kekuasaan syahwat? Manusia yang sombong, kapankah ia bisa mengenal aib-aib dan kekurangan dirinya sehingga dapat di perbaiki? Demikian halnya dengan sifat-sifat buruk lainnya, seperti amarah, dengki, tamak, dendam, fanatik, mencela, cinta dunia, harta dan kedudukan serta kekuasaan dan lain sebagainya yang semestinya ia jauhi.
Apabila salah satu atau lebih dari sifat-sifat tersebut menguasai jiwa, maka akal dengan sendirinya tidak dapat melihat kenyataan-kenyataan dan apabila akal hendak menolak kecenderungan kecenderungan itu dengan melakukan suatu amal, maka kecenderungan-kecenderungan itu akan memulainya dengan keangkuhan dan kesombongan atau dengan memberontak dan berteriak keras.
Kecenderungan nafsu telah menggelapkan jiwa lantaran akal di kalahkan dan di lumpuhkan dalam melaksanakan tugasnya, ketika manusia sudah tertawan oleh nafsu, maka nasihat-nasihat yang di tujukan kepadanya pun tidak akan membuahkan hasil, bahkan kian menambah hitamnya hati.
Oleh karena itu, taqwa bisa di katakan sebagai faktor paling utama dan berpengaruh terhadap bashirah (penglihatan hati), penerangan dan untuk mengetahui kewajiban, akhirnya, perlu kami ingatkan di sini, bahwa ketika taqwa di katakan dapat menambah penglihatan, itu berkenaan dengan akal praktis dan penetapan kewajiban.
Dengan kata lain, perintah dan larangan di kenal lewat taqwa, ia tidak berkaitan dengan akal maupun pengetahuan tentang hakikat-hakikat, sebab, orang yang tidak taqwa bukan berarti ia tidak dapat mengetahui masalah-masalah yang pasti (riyadhi) dan alami (tabi’i), bagaimanapun, taqwa berpengaruh terhadap pemahaman dan kecerdasan sampai batas tertentu.
Posting Komentar untuk "Taqwa dan Bashirah"
Terimakasih atas kunjungan anda...