Penyakit Hati Yang Mematikan
Apabila seluruh syarat dalam berthariqat telah di penuhi oleh seorang murid dengan sempurna, sedangkan pengembaraan ruhani yang di lakukan belum juga mampu menembus sekat alam jismul lathif seperti yang telah di uraikan, sehingga seorang murid belum pernah merasakan manisnya hasil interaksi ruhaniyah dari tawassul yang di lakukan, maka barangkali di dalam hati salik tersebut masih kental dengan penyakit basyariyah yang mematikan.
Para ahli thariqat sedianya setiap saat selalu lebih mengedepankan pengelolaan ruhaniah daripada jasmaniahnya, namun demikian ternyata tidak jarang di dalam ruhaniah sebagian mereka justru malah menjadi sarang syetan, karena di dalamnya penuh dengan penyakit hati yang membusuk.
Secara khusus, di antara penyakit hati itu berupa sifat hasud (iri hati) terhadap kenikmatan yang di terima saudara seperguruan sendiri, terlebih apabila kenikmatan itu datangnya dari guru mursyidnya.
Itulah penyakit elit yang sedang mewabah akhir-akhir ini sebab penyakit hasut dominan menyerang antar sesama para elit yang dekat dan selevel dengan yang di hasut.
Bagi orang thariqat, penyakit hasud itu adalah penyakit hati yang sangat mematikan, karena ia mampu menumpulkan ruhani yang semestinya sudah cemerlang, akibatnya perjalanan thariqat itu tidak mampu membawa kemanfaatan yang berarti bagi dirinya dan tidak mampu membentuk akhlaknya menjadi mulia sebagaimana akhlak yang di contohkan para guru mursyidnya.
Akhlak yang mulia itu pada awalnya hanya sederhana, yaitu kemampuan seorang hamba melaksanakan pengabdian kepada siapa saja, hal itu di lakukan sebagai perwujudan pengabdiannya kepada Allah sebagaimana hikmah penciptaan manusia: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariaat : 56).
Namun demikian, pengabdian yang sempurna itu memiliki tanda-tanda khusus, yaitu ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan ketaatan yang sempurna sehingga menjadikan derajatnya mulia di sisi Tuhannya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujaraat : 13).
Oleh karena barangkali hakikat pengabdian tersebut sejatinya bukan kepada Allah, tapi berbelok arah menuju kepentingan dan keuntungan yang ujung-ujungnya duniawi, baik untuk pribadi, keluarga maupun golongan, maka berangkat dari kesalahan yang fatal itu, akhirnya orang thariqat yang setiap hari telah mengelola ruhaniahnya secara bersungguh-sungguh itu, sebagian besar dari mereka malah terjebak tipu daya syetan jin yang tidak pernah mereka sadari.
Konkritnya, dengan thariqat yang di tekuni itu, bukannya menjadikan mereka merasa hina sehingga mampu ber tawadhu‟ di hadapan manusia, tapi malah justru merasa sudah lebih mulia, sehingga orang lain harus tunduk kepada dirinya.
Allah telah menegaskan tentang penyakit yang mematikan tersebut dengan firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong dan apabila dia di timpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” (Q.S. Al-Isra' : 82-83).
Meski ilmu Al-Qur'an sekalipun, yang banyak mengandung obat bagi kesembuhan ruhani, apabila ilmu itu di amalkan oleh orang yang hatinya masih mempunyai sifat hasud kepada sesama teman sendiri, maka ilmu Al-Qur'an itu bahkan hanya akan menambah kerugian baginya.
Bahkan orang yang hasud tersebut dapat di kategorikan sebagai orang zalim, karena telah menganiaya diri sendiri dengan sifat hasud, sehingga ilmu yang di amalkannya tidak akan pernah membawa manfaat yang berarti.
Demikianlah, barangkali para salik itu sekedar melaksanakan amal lahir saja dengan dzikir dan wirid yang di bai‘atkan kepada guru mursyidnya, bukannya memperkaya dengan amalan batin, bagaimana dengan dzikir dan wirid itu ia bisa berhasil wushul kepada guru mursyid sebagai wasilah untuk bisa wushul kepada Tuhannya.
Sebab dengan bertawassul kepada guru mursyid itu di maksudkan agar ibadah yang di lakukan para murid thariqat itu bisa mencapai wushul kepada Tuhannya.
Ketika para salik itu terjebak kepada pengelolaan amalan lahir dan mengesampingkan amalan batinnya, maka karakter lahir itulah yang akan membentuk di dalam jiwanya, yaitu hubbul jah dan hubbur riyasah.
Artinya cenderung ingin menjadi mulia dan menjadi pemimpin yang akan di anaki dengan kesombongan (kibriya), apabila tumbuhnya kesombongan itu tidak di sadari sejak dini maka karakter yang tidak terpuji itu akan mampu menjiwai perilaku sehari-hari dan akibatnya, sifat hasud yang sudah mengkristal dalam hatinya, tanpa sadar akan selalu di aktualkan dalam perjalanan kehidupan berthariqat, maka betapa menjadi sangat ironis, ketika tanpa sadar, orang yang berthariqat itu masih saja mampu berbuat ghibah dan bahkan memfitnah sesama teman sendiri lantaran saling berebut menjadi yang paling berkuasa.
Mereka saling berebut jama‘ah dan wilayah kekuasaan sehingga mampu menampilkan cara bersaing yang sangat tidak terpuji, menggunjing dan memfitnah seakan menjadi kebutuhan hidup dan menu hariannya, karena takut saingannya kian menjadi besar.
Kalau sudah demikian, maka bukan guru mursyid yang di jadikan panutan, tapi malah hawa nafsu dan syetan yang menjadi pembimbing perjalanannya, terkadang penyakit hati itu berbentuk sifat otoriter dan mementingkan diri sendiri, suka mengatas namakan dawuh guru padahal tujuannya agar temannya tunduk dan patuh pada pendapatnya sendiri.
Bahkan sering mencatut nama guru mursyidnya untuk mendapatkan uang dari jama‘ah dengan menarik infaq dan iuran kepada para jama‘ah atas nama gurunya padahal uangnya di makan sendiri bersama keluarganya.
Demikianlah kiranya, hingga banyak sesama teman yang patuh kepada guru mursyidnya menjadi korban penipuan, karena ketaatan kepada gurunya itu di manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sandang pangan pribadinya.
Fenomena inilah yang sekarang sedang menggejala di mana-mana, bahkan jalan ibadah yang utama itu terkadang malah di jadikan media kotor bagi kelangsungan kepentingan politiknya, dengan mencampur adukkan antara kewenangannya sebagai pengurus thariqat dan pengurus partai politik.
Akibatnya, urusan thariqat itu menjadi carut-marut, bahkan kerukunan umat dan keluarga besar yang selama ini di bina dengan susah payah oleh guru mursyidnya menjadi rusak keharmonisan dan kebersamaannya oleh karena teman seperguruan ada yang berbeda aliran politiknya.
Adanya hanya saling genjot sesama teman, kasak-kusuk di istiqamahkan melebihi dzikir dan wirid yang seharusnya lebih di dawamkan, namun demikian, apabila segala bentuk kesakitan dan akibat yang timbul dari karakter tidak terpuji yang seharusnya memang tidak layak di lakukan oleh orang yang hatinya sudah seputih penutup kepalanya itu mampu di sikapi dengan baik dan dengan motivasi serta keyakinan penuh bahwa itu semua adalah tarbiyah yang didatangkan dari Rabb-nya, maka gesekan-gesekan dalam pergaulan tersebut akan menjadi sangat bermanfaat bagi orang yang di gesek, meskipun bagi yang menggesek akan menimbulkan kerugian yang tidak ketulungan.
Gesekan itu adalah sarana uji untuk membentuk dan membuktikan apakah hati yang setiap saat di tempa dzikir itu sudah menjadi putih, sehingga gesekan itu di jadikan sarana latihan menguatkan iman, bukankah untuk menjadi tahan pukul orang memang harus di pukul oleh sparing partnernya.
Apabila di akhirat nanti, orang yang di gesek itu ternyata menjadi lebih mulia daripada orang yang menggesek, maka kemuliaan orang yang di gesek itu sesungguhnya datang dari temannya sendiri yang suka menggesek itu.
Demikian itulah bagian dari tarbiyah azaliyah yang harus mampu di cermati oleh orang yang sudah menyiapkan diri untuk di tarbiyah Tuhannya, sehingga apapun yang terjadi dalam perjalanannya berthariqat, baik susah maupun senang, akan mampu menghasilkan kemanfaatan optimal sehingga menjadikan dirinya semakin taqarrub kepada Tuhannya.
Para ahli thariqat sedianya setiap saat selalu lebih mengedepankan pengelolaan ruhaniah daripada jasmaniahnya, namun demikian ternyata tidak jarang di dalam ruhaniah sebagian mereka justru malah menjadi sarang syetan, karena di dalamnya penuh dengan penyakit hati yang membusuk.
Secara khusus, di antara penyakit hati itu berupa sifat hasud (iri hati) terhadap kenikmatan yang di terima saudara seperguruan sendiri, terlebih apabila kenikmatan itu datangnya dari guru mursyidnya.
Itulah penyakit elit yang sedang mewabah akhir-akhir ini sebab penyakit hasut dominan menyerang antar sesama para elit yang dekat dan selevel dengan yang di hasut.
Bagi orang thariqat, penyakit hasud itu adalah penyakit hati yang sangat mematikan, karena ia mampu menumpulkan ruhani yang semestinya sudah cemerlang, akibatnya perjalanan thariqat itu tidak mampu membawa kemanfaatan yang berarti bagi dirinya dan tidak mampu membentuk akhlaknya menjadi mulia sebagaimana akhlak yang di contohkan para guru mursyidnya.
Akhlak yang mulia itu pada awalnya hanya sederhana, yaitu kemampuan seorang hamba melaksanakan pengabdian kepada siapa saja, hal itu di lakukan sebagai perwujudan pengabdiannya kepada Allah sebagaimana hikmah penciptaan manusia: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariaat : 56).
Namun demikian, pengabdian yang sempurna itu memiliki tanda-tanda khusus, yaitu ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan ketaatan yang sempurna sehingga menjadikan derajatnya mulia di sisi Tuhannya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujaraat : 13).
Oleh karena barangkali hakikat pengabdian tersebut sejatinya bukan kepada Allah, tapi berbelok arah menuju kepentingan dan keuntungan yang ujung-ujungnya duniawi, baik untuk pribadi, keluarga maupun golongan, maka berangkat dari kesalahan yang fatal itu, akhirnya orang thariqat yang setiap hari telah mengelola ruhaniahnya secara bersungguh-sungguh itu, sebagian besar dari mereka malah terjebak tipu daya syetan jin yang tidak pernah mereka sadari.
Konkritnya, dengan thariqat yang di tekuni itu, bukannya menjadikan mereka merasa hina sehingga mampu ber tawadhu‟ di hadapan manusia, tapi malah justru merasa sudah lebih mulia, sehingga orang lain harus tunduk kepada dirinya.
Allah telah menegaskan tentang penyakit yang mematikan tersebut dengan firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong dan apabila dia di timpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” (Q.S. Al-Isra' : 82-83).
Meski ilmu Al-Qur'an sekalipun, yang banyak mengandung obat bagi kesembuhan ruhani, apabila ilmu itu di amalkan oleh orang yang hatinya masih mempunyai sifat hasud kepada sesama teman sendiri, maka ilmu Al-Qur'an itu bahkan hanya akan menambah kerugian baginya.
Bahkan orang yang hasud tersebut dapat di kategorikan sebagai orang zalim, karena telah menganiaya diri sendiri dengan sifat hasud, sehingga ilmu yang di amalkannya tidak akan pernah membawa manfaat yang berarti.
Demikianlah, barangkali para salik itu sekedar melaksanakan amal lahir saja dengan dzikir dan wirid yang di bai‘atkan kepada guru mursyidnya, bukannya memperkaya dengan amalan batin, bagaimana dengan dzikir dan wirid itu ia bisa berhasil wushul kepada guru mursyid sebagai wasilah untuk bisa wushul kepada Tuhannya.
Sebab dengan bertawassul kepada guru mursyid itu di maksudkan agar ibadah yang di lakukan para murid thariqat itu bisa mencapai wushul kepada Tuhannya.
Ketika para salik itu terjebak kepada pengelolaan amalan lahir dan mengesampingkan amalan batinnya, maka karakter lahir itulah yang akan membentuk di dalam jiwanya, yaitu hubbul jah dan hubbur riyasah.
Artinya cenderung ingin menjadi mulia dan menjadi pemimpin yang akan di anaki dengan kesombongan (kibriya), apabila tumbuhnya kesombongan itu tidak di sadari sejak dini maka karakter yang tidak terpuji itu akan mampu menjiwai perilaku sehari-hari dan akibatnya, sifat hasud yang sudah mengkristal dalam hatinya, tanpa sadar akan selalu di aktualkan dalam perjalanan kehidupan berthariqat, maka betapa menjadi sangat ironis, ketika tanpa sadar, orang yang berthariqat itu masih saja mampu berbuat ghibah dan bahkan memfitnah sesama teman sendiri lantaran saling berebut menjadi yang paling berkuasa.
Mereka saling berebut jama‘ah dan wilayah kekuasaan sehingga mampu menampilkan cara bersaing yang sangat tidak terpuji, menggunjing dan memfitnah seakan menjadi kebutuhan hidup dan menu hariannya, karena takut saingannya kian menjadi besar.
Kalau sudah demikian, maka bukan guru mursyid yang di jadikan panutan, tapi malah hawa nafsu dan syetan yang menjadi pembimbing perjalanannya, terkadang penyakit hati itu berbentuk sifat otoriter dan mementingkan diri sendiri, suka mengatas namakan dawuh guru padahal tujuannya agar temannya tunduk dan patuh pada pendapatnya sendiri.
Bahkan sering mencatut nama guru mursyidnya untuk mendapatkan uang dari jama‘ah dengan menarik infaq dan iuran kepada para jama‘ah atas nama gurunya padahal uangnya di makan sendiri bersama keluarganya.
Demikianlah kiranya, hingga banyak sesama teman yang patuh kepada guru mursyidnya menjadi korban penipuan, karena ketaatan kepada gurunya itu di manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sandang pangan pribadinya.
Fenomena inilah yang sekarang sedang menggejala di mana-mana, bahkan jalan ibadah yang utama itu terkadang malah di jadikan media kotor bagi kelangsungan kepentingan politiknya, dengan mencampur adukkan antara kewenangannya sebagai pengurus thariqat dan pengurus partai politik.
Akibatnya, urusan thariqat itu menjadi carut-marut, bahkan kerukunan umat dan keluarga besar yang selama ini di bina dengan susah payah oleh guru mursyidnya menjadi rusak keharmonisan dan kebersamaannya oleh karena teman seperguruan ada yang berbeda aliran politiknya.
Adanya hanya saling genjot sesama teman, kasak-kusuk di istiqamahkan melebihi dzikir dan wirid yang seharusnya lebih di dawamkan, namun demikian, apabila segala bentuk kesakitan dan akibat yang timbul dari karakter tidak terpuji yang seharusnya memang tidak layak di lakukan oleh orang yang hatinya sudah seputih penutup kepalanya itu mampu di sikapi dengan baik dan dengan motivasi serta keyakinan penuh bahwa itu semua adalah tarbiyah yang didatangkan dari Rabb-nya, maka gesekan-gesekan dalam pergaulan tersebut akan menjadi sangat bermanfaat bagi orang yang di gesek, meskipun bagi yang menggesek akan menimbulkan kerugian yang tidak ketulungan.
Gesekan itu adalah sarana uji untuk membentuk dan membuktikan apakah hati yang setiap saat di tempa dzikir itu sudah menjadi putih, sehingga gesekan itu di jadikan sarana latihan menguatkan iman, bukankah untuk menjadi tahan pukul orang memang harus di pukul oleh sparing partnernya.
Apabila di akhirat nanti, orang yang di gesek itu ternyata menjadi lebih mulia daripada orang yang menggesek, maka kemuliaan orang yang di gesek itu sesungguhnya datang dari temannya sendiri yang suka menggesek itu.
Demikian itulah bagian dari tarbiyah azaliyah yang harus mampu di cermati oleh orang yang sudah menyiapkan diri untuk di tarbiyah Tuhannya, sehingga apapun yang terjadi dalam perjalanannya berthariqat, baik susah maupun senang, akan mampu menghasilkan kemanfaatan optimal sehingga menjadikan dirinya semakin taqarrub kepada Tuhannya.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus