Makna Pengabdian Jin Dan Manusia
Manusia dan jin sebagai makhluk hidup ciptaan Allah, dua golongan yang mempunyai dimensi kehidupan yang berbeda itu di ciptakan semata-mata hanya untuk mengabdi kepada-Nya, mereka tanpa kecuali wajib menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, namun kenyataannya di antara mereka ternyata ada yang beriman ada yang tidak, bahkan sebagian besar mereka malah kafir
kepada Dzat Penciptanya.
Hikmah penciptaan mereka itu di nyatakan Allah dengan firman-Nya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat (51) : 52).
Apabila kewajiban mengabdi bagi manusia dan jin tersebut dikaitkan dengan 'amanat‘ sebagaimana yang di nyatakan Allah dalam firman-Nya : Q.S. Al-Azab (33) : 72-73 yang artinya : “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk menerimanya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan manusia menerimanya, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Sekarang timbul pertanyaan : "Mengapa hanya manusia yang menerima “amanat” (Wa hamalahal insan) sedangkan jin tidak, padahal manusia dan jin sama-sama diciptakan semata untuk beribadah kepada Allah?. Jawabannya, bahwa dengan ayat tersebut Allah telah memberikan sinyalemen, yakni meski manusia dan jin sama-sama wajib beribadah, namun oleh karena hanya manusia yang menerima amanat, maka hanya manusia yang berpeluang menjadi khalifah bumi zamannya bukan jin.
Demikian itu sesuai firman Allah : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku berkehendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 30).
Kalau demikian, pertanyaan berikutnya : "Apa arti pengabdian seorang jin kepada tuhannya dengan tanpa adanya amanat yang dipikul di dalam tanggungan mereka?
Ini merupakan misteri dunia jin yang harus mampu di kuak oleh seorang hamba yang mata hatinya cemerlang, di dalam misteri 'dunia halus‘ itu ada rahasia besar yang hakikatnya hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.
Di antaranya adalah : "Mengapa jin bersedia menjadi khodam manusia, padahal jin adalah mahkluk yang lebih kuat dari manusia." Jawabnya : Sejak Nabi Isa As sebagai khalifah bumi zamannya, di angkat ke langit sampai kemudian saat terutusnya junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw, dalam kaitan pelaksanaan peribadatan manusia dan jin, saat itu mereka difasilitasi bisa naik turun ke langit dengan bebas dan tanpa hambatan.
Mereka mendapatkan kemudahan untuk mengembarakan ruhaniyah, menerobos gugusan langit dan gugusan bumi, bermunajat keharibaan Allah tanpa berwasilah kepada siapapun, bahkan hanya sekedar untuk mencuri dengar berita langit.
Hal itu bisa terjadi, karena saat itu disebut masa kekosongan kepemimpinan bumi (seorang khalifah bumi), sebagaimana yang di isyaratkan Allah dengan firman-Nya melalui munajat Nabi Isa As berikut ini : “Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka, maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka dan Engkau adalah Maha menyaksikan terhadap segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ma'idah (5) : 117).
Maksud ayat, semasa kepemimpinan Nabi Isa As sebagai Rasul, berarti masa itu Nabi Isa As adalah seorang khalifah bumi zamannya. Dampak dari itu, maka segala permasalahan umat saat itu, baik golongan jin maupun manusia, Nabi Isa As adalah sebagai wasilah yang menghantarkannya keharibaan Allah.
Demikian pula sebaliknya, segala titah dan anugerah yang datang dari Allah untuk mereka, baik urusan lahir maupun batin, Nabi Isa pula yang menyampaikan kepada mereka.
Akan tetapi ketika Nabi Isa As di angkat ke langit, tugas kekhalifahan itu oleh Nabi Isa As di serahkan kembali kepada Allah, sampai dengan saat di utusnya Nabi akhir zaman sebagai penutup para Nabi yaitu junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw.
Masa itu di sebut sebagai masa kekosongan pemimpin bumi, dampak dari itu, jin dan manusia mendapat kebebasan untuk mengembarakan ruhaniyah langsung ke haribaan Allah secara sendiri-sendiri dan secara sendiri-sendiri pula mereka mendapatkan hak-hak untuk menerima anugerah dari-Nya secara langsung sesuai dengan kemampuan yang ada.
Namun ketika Rasul Muhammad Saw diutus di muka bumi sebagai Rasul dan Nabi yang berarti seorang khalifah bumi telah diangkat kembali, maka kekhalifahan itu dengan segala urusan yang terkait, kembali di duduki oleh seorang manusia, sehingga sejak saat itu kebebasan jin untuk naik ke langit di batasi lagi.
Oleh karena itu, sejak terutusnya Nabi akhir zaman itu, golongan jin yang biasanya dapat naik turun langit, mereka hanya mampu mencuri dengar yang kemudian di kejar oleh panah api yang terang, sebagaimana yang di nyatakan oleh sebuah ayat di bawah ini : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasinya bagi orang yang memandang(nya) dan Kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk, kecuali yang mencuricuri dengar kemudian di kejar oleh semburan api yang terang.” (Q.S. Al-Hijr 15/16-18).
Di ayat yang lain Allah menyatakan hal tersebut dengan lebih jelas dan lebih detail : “Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba memasuki langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar dengar, tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba untuk mendengarkan dengar tentu akan menjumpai panah api yang mengintai dan kami tidak mengerti apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Q.S. Al-Jin (72) : 8-10).
Maksud "Sekarang” dalam ayat di atas adalah sejak Rasul Muhammad Saw di utus sebagai Rasul dan Nabi, sejak itu fungsi bintang-bintang di langit di samping sebagai hiasan langit, juga untuk menjaganya dari usaha seorang jin memanfaatkan potensi langit yang di sediakan bagi seorang khalifah bumi zamannya, hal itu bertujuan supaya ketetapan Allah berjalan sebagaimana mestinya, maka sejak saat itu pula seorang jin tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas tersebut kecuali melalui seorang khalifah bumi zamannya.
Inilah hikmah di balik rahasia besar itu, sehingga di dalam banyak hal, jin membutuhkan manusia untuk melaksanakan pengabdiannya kepada Allah, dengan begitu, maka banyak dari kalangan jin, meski sesungguhnya mereka tercipta lebih kuat dari manusia, mereka rela menjadi khadam manusia.
Hal itu di sebabkan, karena seluruh makhluk, baik jin maupun malaikat memang di ciptakan Allah sebagai sarana dan pendamping hidup manusia, artinya, malaikat dan jin itu di ciptakan dalam kondisi berpotensi di jinakkan oleh manusia bukan sebaliknya.
Hal itu bertujuan supaya manusia mampu melaksanakan pengabdiannya secara sempurna. “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya." (Q.S. Al-Jaatsiat (45) : 13).
Lebih tegas lagi pernyataan Allah melalui Hadits Qudsi, Allah berfirman yang artinya : “Aku menciptakan segala sesuatu untukmu dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.” Walhasil, sesungguhnya seluruh makhluk baik yang berada di langit maupun di bumi tercipta secara fisik maupun non fisik dalam kondisi berpotensi untuk dapat di tundukkan manusia.
Sedangkan manusia, secara fisik dan non fisik pula sesungguhnya tercipta dalam kondisi berpotensi menundukkan mereka, namun demikian, tinggal manusianya sendiri, mampukah mereka melengkapi diri dengan ilmu dan kekuatan (Sulthanul Ilahiyah), sehingga mereka benar-benar dapat memanfaatkan seluruh potensi alam yang di sediakan itu.
Ketika kebebasan jin untuk dapat naik turun kelangit sudah dibatasi oleh keberadaan khalifah bumi zamannya, maka sejak saat itu, apabila seorang jin hendak mengadakan pengembaraan ke langit, mereka harus mengikuti jalan yang sudah ditempuh oleh para khalifah bumi zamannya itu.
Ini adalah sunnatullah yang dengannya kemudian tercipta suatu sistem komando di mana dengan sistem itu menjadikan banyak dari kalangan jin rela menghambakan diri kepada seorang kholifah bumi zamannya itu demi mendapatkan apa yang bisa didapatkan dari tuhannya melalui para khalifah bumi tersebut.
Dalam hal yang khusus dan tertentu, seorang khalifah bumi itu sadar maupun tidak, mereka seringkali di jadikan wasilah oleh kalangan makhluk jin untuk pelaksanaan pengabdiannya kepada Allah.
Inilah salah satu kunci rahasia yang berkaitan dengan rahasia-rahasia besar dari rahasia penciptaan alam semesta, khususnya yang berkaitan alam jin dan alam manusia, di mana dalam kedua alam tersebut tersimpan banyak mutiara hikmah dan kunci rahasia (password) yang harus mampu di temukan oleh para salik di jalan Allah, yaitu “sulthan ilaahiyyat” sebagaimana yang telah di nyatakan Allah dengan firman-Nya : “Hai masyarakat jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus gugusan langit dan gugusan bumi, maka tembuslah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthan.” (Q.S. Ar-Rahman (55) : 33).
Kedudukan alam penuh misteri itu berada di dunia lain, yaitu batas pertemuan antara dua alam yang berbeda, alam jin dan alam manusia yang merupakan tantangan yang di bentangkan Allah untuk dapat di masuki manusia. Hanya saja, siapapun tidak dapat menembusnya kecuali mereka yang telah mendapatkan ilmu dan teknologi (shultan) dari-Nya.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut, sebagaimana yang terjadi di dalam sejarah kehidupan dan perjuangan para Nabi dan para Rasul terdahulu, yaitu ketika api Raja Namrud ternyata tidak mampu membakar Nabi Ibrahim As, ketika Nabi Musa As dengan tongkatnya mampu membelah laut, ketika seorang jelata Dawud mampu membunuh Raja Jalut yang perkasa sehingga kemudian dia di angkat menjadi Nabi yang sekaligus sebagai Raja dan Nabi Sulaiman bin Dawud As dari apa yang telah di wariskan pendahulunya telah mampu menjinakkan jin, angin dan binatang-binatang, sehingga banyak bala-tentaranya yang terdiri dari tentara jin yang perkasa dan Nabi Isa As bahkan mampu menghidupkan orang mati, menciptakan burung dari tanah kemudian dapat hidup sempurna sebagaimana burung lazimnya, dan masih banyak lagi dari kejadian yang telah di catat sejarah, bahwa dengan izin Allah
Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, para khalifah bumi itu telah mampu membuktikan penegasan ayat tersebut di atas.
Lebih-lebih apa yang pernah terjadi pada saat kepemimpinan junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw, dengan segala kelebihan dan mu‘jizat yang di anugerahkan Allah kepada Beliau, yang telah di catat pula di dalam sejarah perjalanan hidup dan perjuangan-perjuangan beliau yang sejarah hidupnya dapat dengan mudah kita baca dan kita tela‘ah di buku-buku maupun kitab-kitab yang ada.
Maksudnya, manakala manusia mampu memasuki segala potensi yang telah di siapkan Allah baginya, baik potensi yang ada di dalam jiwanya maupun yang ada di luarnya, mereka mampu menduduki kedudukannya sebagai khalifah bumi zamannya dengan benar dan sempurna, dengan melaksanakan seluruh pengabdian hanya semata-mata untuk Allah, maka seluruh makhluk yang ada, baik di langit maupun di bumi akan benar-benar mengabdi kepadanya.
Akan tetapi manakala pengabdian manusia itu salah arah dan tujuan, arah tujuan ibadah mereka meleset bahkan sebaliknya, maka manusialah yang akan menjadi abdi dari segala sarana yang ada di sekelilingnya itu.
Contoh-contoh kejadian tersebut adalah kelebihan-kelebihan dan mu‘jizat-mu‘jizat para Rasul dan para Nabi, yaitu hamba-hamba Allah yang notabene di pilih menjadi khalifah bumi zamannya, hingga mereka mampu memasuki segala potensi yang telah di siapkan untuk mereka.
Selanjutnya ada pertanyaan : "Adakah manusia biasa yang selain Nabi dan Rasul mampu memasuki potensi tersebut? Mereka mampu menjadi khalifah bumi zamannya, sehingga bisa mendapat anugerah sebagaimana yang telah di anugerahkan Allah kepada mereka?
Jawabannya ada dua, yaitu :
1. Sesungguhnya awalnya para Rasul dan para Nabi itu adalah manusia biasa seperti manusia-manusia yang lain, sebagaimana yang di tegaskan Allah dengan firman-Nya yang artinya : Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, di wahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." (Q.S. Fush shilat/6), namun, dengan ilmu, amal, perjuangan, pengabdian dan pelaksanaan akhlaknya yang mulia, mereka kemudian mendapat anugerah dari tuhannya dalam bentuk kelebihan-kelebihan, wahyu dan mu‘jizat yang besar, seperti contoh Nabi Dawud As, yang awalnya hanya seorang penggembala domba.
2. Telah diuraikan di depan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi yang di jelaskan dari sebuah hadits bahwa: Rasulullah Saw bersabda : “Ulama‟ umatku seperti Nabinya Bani Israil”.
Sesungguhnya merekalah para ulama sejati itu yang akan mampu mewarisi segala yang telah di turunkan Allah kepada para Nabi tersebut, baik ilmu pengetahuan, amal ibadah, kekuatan pengabdian, kesabaran dan keikhlasan dalam menerima musibah menjadi khalifah bumi zamannya, sehingga mereka pula yang akan mampu menerima warisan dari segala kelebihan-kelebihan tersebut.
Bahkan dari golongan orang-orang biasa yang notabene bukan ulama agama, bukan ulama pewaris para Nabi bila di lihat dari ilmu dan amal yang mereka lakukan dengan kekuatan ilmu dan amal mereka, serta ketekunan dalam beriyadhah dan bermujahadah, kadang-kadang mereka berhasil memasuki sebagian potensi tersebut, sehingga mereka mampu menjinakkan sebagian sistem kehidupan yang ada di alam ini, menjadi pawang hujan, pawang binatang-binatang misalnya, meskipun mereka sendiri sesungguhnya tidak mengerti hakikat dan rahasia sumber ilmu yang di amalkan tersebut.
Mereka dari kalangan yang menyebutkan dirinya sebagai paranormal itu kadang-kadang bahkan mampu bekerjasama dengan kekuatan jin dan syetan, meski yang demikian itu tentunya akan membawa dampak yang tersendiri bagi mereka.
Namun demikian, rahasia di balik keberadaan itu sesungguhnya ialah, bahwa dengan izin Allah, walau tanpa mereka sadari, mereka telah mendapatkan pertolongan (syafa‘at) sehingga mereka dapat menguasai sebagian kunci rahasia dari sistem yang ada dalam kehidupan ini.
Allah telah menegaskan dengan firman-Nya yang artinya : “Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah/255).
kepada Dzat Penciptanya.
Hikmah penciptaan mereka itu di nyatakan Allah dengan firman-Nya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat (51) : 52).
Apabila kewajiban mengabdi bagi manusia dan jin tersebut dikaitkan dengan 'amanat‘ sebagaimana yang di nyatakan Allah dalam firman-Nya : Q.S. Al-Azab (33) : 72-73 yang artinya : “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk menerimanya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan manusia menerimanya, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Sekarang timbul pertanyaan : "Mengapa hanya manusia yang menerima “amanat” (Wa hamalahal insan) sedangkan jin tidak, padahal manusia dan jin sama-sama diciptakan semata untuk beribadah kepada Allah?. Jawabannya, bahwa dengan ayat tersebut Allah telah memberikan sinyalemen, yakni meski manusia dan jin sama-sama wajib beribadah, namun oleh karena hanya manusia yang menerima amanat, maka hanya manusia yang berpeluang menjadi khalifah bumi zamannya bukan jin.
Demikian itu sesuai firman Allah : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku berkehendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 30).
Kalau demikian, pertanyaan berikutnya : "Apa arti pengabdian seorang jin kepada tuhannya dengan tanpa adanya amanat yang dipikul di dalam tanggungan mereka?
Ini merupakan misteri dunia jin yang harus mampu di kuak oleh seorang hamba yang mata hatinya cemerlang, di dalam misteri 'dunia halus‘ itu ada rahasia besar yang hakikatnya hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.
Di antaranya adalah : "Mengapa jin bersedia menjadi khodam manusia, padahal jin adalah mahkluk yang lebih kuat dari manusia." Jawabnya : Sejak Nabi Isa As sebagai khalifah bumi zamannya, di angkat ke langit sampai kemudian saat terutusnya junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw, dalam kaitan pelaksanaan peribadatan manusia dan jin, saat itu mereka difasilitasi bisa naik turun ke langit dengan bebas dan tanpa hambatan.
Mereka mendapatkan kemudahan untuk mengembarakan ruhaniyah, menerobos gugusan langit dan gugusan bumi, bermunajat keharibaan Allah tanpa berwasilah kepada siapapun, bahkan hanya sekedar untuk mencuri dengar berita langit.
Hal itu bisa terjadi, karena saat itu disebut masa kekosongan kepemimpinan bumi (seorang khalifah bumi), sebagaimana yang di isyaratkan Allah dengan firman-Nya melalui munajat Nabi Isa As berikut ini : “Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka, maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka dan Engkau adalah Maha menyaksikan terhadap segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ma'idah (5) : 117).
Maksud ayat, semasa kepemimpinan Nabi Isa As sebagai Rasul, berarti masa itu Nabi Isa As adalah seorang khalifah bumi zamannya. Dampak dari itu, maka segala permasalahan umat saat itu, baik golongan jin maupun manusia, Nabi Isa As adalah sebagai wasilah yang menghantarkannya keharibaan Allah.
Demikian pula sebaliknya, segala titah dan anugerah yang datang dari Allah untuk mereka, baik urusan lahir maupun batin, Nabi Isa pula yang menyampaikan kepada mereka.
Akan tetapi ketika Nabi Isa As di angkat ke langit, tugas kekhalifahan itu oleh Nabi Isa As di serahkan kembali kepada Allah, sampai dengan saat di utusnya Nabi akhir zaman sebagai penutup para Nabi yaitu junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw.
Masa itu di sebut sebagai masa kekosongan pemimpin bumi, dampak dari itu, jin dan manusia mendapat kebebasan untuk mengembarakan ruhaniyah langsung ke haribaan Allah secara sendiri-sendiri dan secara sendiri-sendiri pula mereka mendapatkan hak-hak untuk menerima anugerah dari-Nya secara langsung sesuai dengan kemampuan yang ada.
Namun ketika Rasul Muhammad Saw diutus di muka bumi sebagai Rasul dan Nabi yang berarti seorang khalifah bumi telah diangkat kembali, maka kekhalifahan itu dengan segala urusan yang terkait, kembali di duduki oleh seorang manusia, sehingga sejak saat itu kebebasan jin untuk naik ke langit di batasi lagi.
Oleh karena itu, sejak terutusnya Nabi akhir zaman itu, golongan jin yang biasanya dapat naik turun langit, mereka hanya mampu mencuri dengar yang kemudian di kejar oleh panah api yang terang, sebagaimana yang di nyatakan oleh sebuah ayat di bawah ini : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasinya bagi orang yang memandang(nya) dan Kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk, kecuali yang mencuricuri dengar kemudian di kejar oleh semburan api yang terang.” (Q.S. Al-Hijr 15/16-18).
Di ayat yang lain Allah menyatakan hal tersebut dengan lebih jelas dan lebih detail : “Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba memasuki langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar dengar, tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba untuk mendengarkan dengar tentu akan menjumpai panah api yang mengintai dan kami tidak mengerti apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Q.S. Al-Jin (72) : 8-10).
Maksud "Sekarang” dalam ayat di atas adalah sejak Rasul Muhammad Saw di utus sebagai Rasul dan Nabi, sejak itu fungsi bintang-bintang di langit di samping sebagai hiasan langit, juga untuk menjaganya dari usaha seorang jin memanfaatkan potensi langit yang di sediakan bagi seorang khalifah bumi zamannya, hal itu bertujuan supaya ketetapan Allah berjalan sebagaimana mestinya, maka sejak saat itu pula seorang jin tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas tersebut kecuali melalui seorang khalifah bumi zamannya.
Inilah hikmah di balik rahasia besar itu, sehingga di dalam banyak hal, jin membutuhkan manusia untuk melaksanakan pengabdiannya kepada Allah, dengan begitu, maka banyak dari kalangan jin, meski sesungguhnya mereka tercipta lebih kuat dari manusia, mereka rela menjadi khadam manusia.
Hal itu di sebabkan, karena seluruh makhluk, baik jin maupun malaikat memang di ciptakan Allah sebagai sarana dan pendamping hidup manusia, artinya, malaikat dan jin itu di ciptakan dalam kondisi berpotensi di jinakkan oleh manusia bukan sebaliknya.
Hal itu bertujuan supaya manusia mampu melaksanakan pengabdiannya secara sempurna. “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya." (Q.S. Al-Jaatsiat (45) : 13).
Lebih tegas lagi pernyataan Allah melalui Hadits Qudsi, Allah berfirman yang artinya : “Aku menciptakan segala sesuatu untukmu dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.” Walhasil, sesungguhnya seluruh makhluk baik yang berada di langit maupun di bumi tercipta secara fisik maupun non fisik dalam kondisi berpotensi untuk dapat di tundukkan manusia.
Sedangkan manusia, secara fisik dan non fisik pula sesungguhnya tercipta dalam kondisi berpotensi menundukkan mereka, namun demikian, tinggal manusianya sendiri, mampukah mereka melengkapi diri dengan ilmu dan kekuatan (Sulthanul Ilahiyah), sehingga mereka benar-benar dapat memanfaatkan seluruh potensi alam yang di sediakan itu.
Ketika kebebasan jin untuk dapat naik turun kelangit sudah dibatasi oleh keberadaan khalifah bumi zamannya, maka sejak saat itu, apabila seorang jin hendak mengadakan pengembaraan ke langit, mereka harus mengikuti jalan yang sudah ditempuh oleh para khalifah bumi zamannya itu.
Ini adalah sunnatullah yang dengannya kemudian tercipta suatu sistem komando di mana dengan sistem itu menjadikan banyak dari kalangan jin rela menghambakan diri kepada seorang kholifah bumi zamannya itu demi mendapatkan apa yang bisa didapatkan dari tuhannya melalui para khalifah bumi tersebut.
Dalam hal yang khusus dan tertentu, seorang khalifah bumi itu sadar maupun tidak, mereka seringkali di jadikan wasilah oleh kalangan makhluk jin untuk pelaksanaan pengabdiannya kepada Allah.
Inilah salah satu kunci rahasia yang berkaitan dengan rahasia-rahasia besar dari rahasia penciptaan alam semesta, khususnya yang berkaitan alam jin dan alam manusia, di mana dalam kedua alam tersebut tersimpan banyak mutiara hikmah dan kunci rahasia (password) yang harus mampu di temukan oleh para salik di jalan Allah, yaitu “sulthan ilaahiyyat” sebagaimana yang telah di nyatakan Allah dengan firman-Nya : “Hai masyarakat jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus gugusan langit dan gugusan bumi, maka tembuslah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthan.” (Q.S. Ar-Rahman (55) : 33).
Kedudukan alam penuh misteri itu berada di dunia lain, yaitu batas pertemuan antara dua alam yang berbeda, alam jin dan alam manusia yang merupakan tantangan yang di bentangkan Allah untuk dapat di masuki manusia. Hanya saja, siapapun tidak dapat menembusnya kecuali mereka yang telah mendapatkan ilmu dan teknologi (shultan) dari-Nya.
Sejarah telah membuktikan hal tersebut, sebagaimana yang terjadi di dalam sejarah kehidupan dan perjuangan para Nabi dan para Rasul terdahulu, yaitu ketika api Raja Namrud ternyata tidak mampu membakar Nabi Ibrahim As, ketika Nabi Musa As dengan tongkatnya mampu membelah laut, ketika seorang jelata Dawud mampu membunuh Raja Jalut yang perkasa sehingga kemudian dia di angkat menjadi Nabi yang sekaligus sebagai Raja dan Nabi Sulaiman bin Dawud As dari apa yang telah di wariskan pendahulunya telah mampu menjinakkan jin, angin dan binatang-binatang, sehingga banyak bala-tentaranya yang terdiri dari tentara jin yang perkasa dan Nabi Isa As bahkan mampu menghidupkan orang mati, menciptakan burung dari tanah kemudian dapat hidup sempurna sebagaimana burung lazimnya, dan masih banyak lagi dari kejadian yang telah di catat sejarah, bahwa dengan izin Allah
Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, para khalifah bumi itu telah mampu membuktikan penegasan ayat tersebut di atas.
Lebih-lebih apa yang pernah terjadi pada saat kepemimpinan junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw, dengan segala kelebihan dan mu‘jizat yang di anugerahkan Allah kepada Beliau, yang telah di catat pula di dalam sejarah perjalanan hidup dan perjuangan-perjuangan beliau yang sejarah hidupnya dapat dengan mudah kita baca dan kita tela‘ah di buku-buku maupun kitab-kitab yang ada.
Maksudnya, manakala manusia mampu memasuki segala potensi yang telah di siapkan Allah baginya, baik potensi yang ada di dalam jiwanya maupun yang ada di luarnya, mereka mampu menduduki kedudukannya sebagai khalifah bumi zamannya dengan benar dan sempurna, dengan melaksanakan seluruh pengabdian hanya semata-mata untuk Allah, maka seluruh makhluk yang ada, baik di langit maupun di bumi akan benar-benar mengabdi kepadanya.
Akan tetapi manakala pengabdian manusia itu salah arah dan tujuan, arah tujuan ibadah mereka meleset bahkan sebaliknya, maka manusialah yang akan menjadi abdi dari segala sarana yang ada di sekelilingnya itu.
Contoh-contoh kejadian tersebut adalah kelebihan-kelebihan dan mu‘jizat-mu‘jizat para Rasul dan para Nabi, yaitu hamba-hamba Allah yang notabene di pilih menjadi khalifah bumi zamannya, hingga mereka mampu memasuki segala potensi yang telah di siapkan untuk mereka.
Selanjutnya ada pertanyaan : "Adakah manusia biasa yang selain Nabi dan Rasul mampu memasuki potensi tersebut? Mereka mampu menjadi khalifah bumi zamannya, sehingga bisa mendapat anugerah sebagaimana yang telah di anugerahkan Allah kepada mereka?
Jawabannya ada dua, yaitu :
1. Sesungguhnya awalnya para Rasul dan para Nabi itu adalah manusia biasa seperti manusia-manusia yang lain, sebagaimana yang di tegaskan Allah dengan firman-Nya yang artinya : Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, di wahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa." (Q.S. Fush shilat/6), namun, dengan ilmu, amal, perjuangan, pengabdian dan pelaksanaan akhlaknya yang mulia, mereka kemudian mendapat anugerah dari tuhannya dalam bentuk kelebihan-kelebihan, wahyu dan mu‘jizat yang besar, seperti contoh Nabi Dawud As, yang awalnya hanya seorang penggembala domba.
2. Telah diuraikan di depan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi yang di jelaskan dari sebuah hadits bahwa: Rasulullah Saw bersabda : “Ulama‟ umatku seperti Nabinya Bani Israil”.
Sesungguhnya merekalah para ulama sejati itu yang akan mampu mewarisi segala yang telah di turunkan Allah kepada para Nabi tersebut, baik ilmu pengetahuan, amal ibadah, kekuatan pengabdian, kesabaran dan keikhlasan dalam menerima musibah menjadi khalifah bumi zamannya, sehingga mereka pula yang akan mampu menerima warisan dari segala kelebihan-kelebihan tersebut.
Bahkan dari golongan orang-orang biasa yang notabene bukan ulama agama, bukan ulama pewaris para Nabi bila di lihat dari ilmu dan amal yang mereka lakukan dengan kekuatan ilmu dan amal mereka, serta ketekunan dalam beriyadhah dan bermujahadah, kadang-kadang mereka berhasil memasuki sebagian potensi tersebut, sehingga mereka mampu menjinakkan sebagian sistem kehidupan yang ada di alam ini, menjadi pawang hujan, pawang binatang-binatang misalnya, meskipun mereka sendiri sesungguhnya tidak mengerti hakikat dan rahasia sumber ilmu yang di amalkan tersebut.
Mereka dari kalangan yang menyebutkan dirinya sebagai paranormal itu kadang-kadang bahkan mampu bekerjasama dengan kekuatan jin dan syetan, meski yang demikian itu tentunya akan membawa dampak yang tersendiri bagi mereka.
Namun demikian, rahasia di balik keberadaan itu sesungguhnya ialah, bahwa dengan izin Allah, walau tanpa mereka sadari, mereka telah mendapatkan pertolongan (syafa‘at) sehingga mereka dapat menguasai sebagian kunci rahasia dari sistem yang ada dalam kehidupan ini.
Allah telah menegaskan dengan firman-Nya yang artinya : “Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah/255).
Posting Komentar untuk "Makna Pengabdian Jin Dan Manusia"
Terimakasih atas kunjungan anda...