Hukum Ladzim Dan Ihktiari
Manusia baik sebagai seorang hamba maupun seorang khalifah, didalam menjalani kehidupannya didunia, mereka dihadapkan dengan dua hukum alam atau suatu ketetapan alam yang disebut sunnatullah.
Yang pertama hukum lazim dan kedua hukum ikhtiari.
Hukum lazim artinya ketentuan Allah yang sudah tidak dapat dirubah lagi oleh usaha manusia, sedangkan hukum ikhtiari artinya ketentuan Allah dimana di dalamnya manusia masih mempunyai kesempatan untuk melaksanakan pilihan dan usaha hidupnya.
Tidak seperti makhluk yang lain, seperti langit, bumi dan gunung-gunung, sejak mereka enggan menerima amanat dari Allah, maka jasad-jasad kasar yang membungkus ruh kehidupan mereka diciptakan sebagai seorang hamba manusia harus melaksanakan seluruh potensi hidupnya untuk beribadah kepada Allah secara vertikal, atau hablum minallah.
Sebagai Khalifah bumi, dengan seluruh potensi hidupnya manusia ikut mengelola potensi alam semata untuk melaksanakan pengabdiannya secara horizontal, atau hamblum minannas dan disesuaikan oleh Dzat Pencipta Yang Maha Perkasa dengan sunnah hukum lazim, bukan hukum ikhtiari.
Artinya sedikitpun iradah (kemauan) mereka tidak mempunyai pilihan hidup lagi kecuali hanya menjalani garis ketetapan takdir tersebut dan Allah mengabarkan hal itu dengan firman-Nya: “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati" Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Fush-Shilat (41) : 11-12).
Dari yang asal mulanya asap kemudian menjadi langit dan isinya, melalui proses penciptaan yang dikehendaki-Nya, maka terciptalah langit tingkat tujuh beserta bintang-bintangnya dan bumi seisinya dengan segala sunnah yang melindunginya, kemudian Allah berfirman kepada langit dan bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya, demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. (41) : 11-12).
Sejak itu, bahan material jasad gunung sebagai rumah kediaman ruh kehidupan gunung ditakdirkan dari tanah yang menancap dan hidup di atas bumi, dengan cara seperti itu gunung menjalani fungsi hidupnya, selamanya, sampai batas usia yang sudah ditentukan baginya.
Selanjutnya gunung itu akan dihancurkan kembali tanpa harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang sudah dijalaninya, demikian pula nasib kehidupan langit, bumi dan binatang-binatang, berbeda manusia, sejak manusia menerima amanat dari Allah, walau sejak saat itu, baik bahan dasar material penciptaan jasadnya sebagai kediaman ruh nismatul 'adamiyah, maupun alam yang mengelilingi kehidupannya, sama seperti bumi dan gunung-gunung, dalam arti diciptakan dalam bingkai sunnah hukum lazim akan tetapi dalam menjalani iradah kemauan hidupnya, manusia mendapatkan kesempatan menjalani dua pilihan hidup, yaitu mengikuti penerapan hukum ikhtiari atau penerapan hukum lazim.
Penerapan hukum ikhtiari artinya, sebagai khalifah bumi manusia berhak memilih jalan hidupnya sendiri, menggunakan kemauan nafsu dan syetan untuk mengingkari Allah dan Rasul-Nya atau menggunakan akal, ilmu dan iman untuk mentaati Allah dan rasul-Nya.
Namun demikian, dua pilihan itu akan membawa dampak dan konsekwensi yang berbeda, dengan nafsu dan syetan manusia akan mendapatkan kesenangan sementara di dunia tapi selanjutnya akan menderita selamanya di neraka, dengan akal, ilmu dan iman manusia akan mendapatkan kebahagian yang abadi di syurga, meski kebahagian itu harus diusahakan dengan susah payah di dunia.
Adapun penerapan hukum lazim artinya, bahwa sejatinya jalan hidup manusia, secara hakiki sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, ketentuan mana yang sudah digariskan Allah melalui ketetapan yang ditulis Malaikat ruh sejak manusia itu masih berbentuk janin di dalam rahim ibunya.
Penerapan hukum ikhtiari ini adalah keutamaan yang hanya diberikan Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lain, kepada malaikat sekalipun, oleh karena itu, apabila manusia mampu menjalankan iradahnya dalam penerapan hukum ikhtiari, diselaraskan kepada hukum lazim yang sudah ditentukan itu, maka berarti manusia telah menjalankan hidupnya mengikuti hidayah Allah.
Namun ternyata sebagian besar manusia hanya menjalankan irodahnya mengikuti penerapan hukum ikhtiari bukan hukum lazim, yaitu kesempatan memilih yang ditawarkan Allah kepadanya, sebagaimana firman Allah : “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (QS. (18) : 29).
Untuk itu, supaya manusia mampu menerapkan hukum ikhtiarinya kepada hukum lazim yang sudah ditetapkan bagi jalan hidupnya, maka tidak seharusnya manusia hanya melengkapi dirinya dengan ilmu syari‘at saja, tapi juga ilmu hakikat.
Dengan penerapan dua ilmu itu secara seimbang, maka manusia dapat menjalankan hidupnya di dalam dua hukum tersebut dengan seimbang pula, syari‘atnya berjalan dengan baik dan hakikatnya juga demikian.
Itulah manusia yang mendekati kepada sempurna (Insan kamil), binatang misalnya, seperti apapun perilaku dan perbuatan yang dilakukan binatang, yang kadang-kadang jauh melanggar norma norma penerapan hukum ikhtiari menurut sudut pandang hukum manusia, betapapun demikian, binatang tidak menjalani sanksi hukum, baik hukum Allah maupun hukum manusia, karena iradah hewan hanya menjalankan penerapan hukum lazim bukan hukum ikhtiari.
Artinya, binatang tidak mempunyai pilihan hidup kecuali yang sudah digariskan untuk mereka, seperti itu pula malaikat, sehingga sedikitpun malaikat itu tidak pernah melanggar larangan Allah dan selalu menjalankan perintah-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim : 6).
Maksudnya, oleh karena jalan hidup malaikat hanya menerapkan hukum lazim, bukan hukum ikhtiari, maka mereka tidak mempunyai kesempatan baik untuk berbuat dosa maupun mendapatkan pahala.
Pengenalan tentang dua hukum alam ini (sunnatullah), adalah ilmu dasar yang tidak bisa tidak, harus difahami orang-orang beriman, diterapkan secara seimbang di dalam perilaku dan perbuatan yang dijalani, dengan itu kehidupan manusia, baik jasmani maupun ruhani akan berjalan dengan seimbang pula.
Contohnya, setiap orang beriman pasti yakin bahwa alam semesta ini, dan juga kehidupannya sendiri sudah ada yang mengatur, yaitu Dzat yang Maha Pencipta, Allah Rabbul Alamin, sedangkan manusia sebagai kholifah bumi, wajib mengatur baik kehidupannya sendiri maupun keluarganya untuk mengikuti hidayah Allah.
Oleh sebab itu, apabila cara manusia mengatur hidupnya itu hanya mengikuti hukum ikhtiari saja, maka tanpa sadar, seringkali aturan manusia itu tidak bersesuaian dan bahkan berbenturan dengan hukum lazim yang sudah ditetapkan baginya.
Akibatnya ketika ternyata perencanaan manusia dalam mengatur hidupnya itu meleset dan gagal, maka seketika manusia menjadi putus asa yang akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai macam penyakit yang menyerang baik fisik maupun psikis mereka.
Inilah rahasianya, mengapa kebanyakan orang beriman yang menjalankan kehidupan agamanya dijalan thariqat yang terbimbing, meski kelihatannya kehidupan lahir mereka serba kekurangan, tapi kehidupan batinnya tetap dalam keadaan kaya.
Cerminan wajahnya mampu menunjukkan kedamaian yang hakiki itu, bahkan mereka selalu berhasil menyikapi karakter duniawi yang harus mereka hadapi sehari-hari, baik susah maupun senangnya dengan benar, terlebih mereka yang mendapatkan kelebihan harta benda.
Yang demikian itu, dengan dzikir dan wirid yang mereka dawamkan setiap hari, tanpa terasa berarti mereka telah melatih diri untuk menjalankan dua sunnah itu sekaligus di dalam hidupnya dengan seimbang.
Jadi, pelaksanaan thariqat itu sejatinya adalah kebutuhan hidup yang tidak dapat ditawar lagi, baik untuk orang tua yang ingin mengendalikan intensitas rasional dan emosional yang sudah kadung kebablasan melebihi kemampuan spiritualitas yang dimiliki, terlebih anak muda yang memang intensitas rasional dan emosional itu sedang harus tinggi.
Dengan berthariqat berarti orang beriman telah mengelola kehidupan spiritualnya dengan benar, supaya ketika kehidupan spiritual itu menjadi kuat, maka ketiga instrumen kehidupan manusia itu, baik rasional, emosional dan spiritual bisa berjalan dengan seimbang.
Di saat manusia sudah memasuki usia senja misalnya, ketika kemampuan rasionalitas yang dimiliki seringkali tidak mampu mengcover kehidupan disebabkan karena intensitas emosional berjalan semakin tinggi sehingga hidup terasa menjadi resah, maka baru mereka sadar akan kebutuhan makanan spiritual itu.
Mereka mencari makanan ruhani ini, terlebih dari kalangan menengah ke atas, dengan mendatangi forum-forum kajian tasawuf yang diselenggarakan di hotel-hotel berbintang, mereka mengira makanan ruhani itu bisa didapatkan disana, namun oleh karena pengelola forum kajian tersebut bukan ahlinya.
Dalam arti pengelola itu hanya menguasai tasawuf secara teori, sedang yang diharapkan para peserta itu adalah pelaksanaan tasawuf secara amali, maka yang didapatkan hanyalah makanan rasional lagi, bukan makanan spiritual yang diharapkan.
Makanan spiritual itu ibarat orang minum obat, sehingga badannya menjadi sehat dan segar, sedangkan yang dibahas di dalam forum-forum elit itu ibarat orang mempelajari racikan minuman obat, meskipun mempelajari racikan minuman obat itu penting, akan tetapi tentunya tidak sama, orang minum minuman dengan orang belajar meracik minuman.
Terlebih lagi karena seorang yang ahli meracik minumanpun tersebut belum tentu mampu merasakan minuman yang diraciknya sendiri dengan nyaman, hal itu disebabkan, karena untuk merasakan minuman dengan nyaman itu, disamping minuman itu memang rasanya harus nyaman, orang yang minum itupun harus dalam keadaan sehat lahir batin.
Orang-orang yang sedang resah dan gelisah itu ibarat orang sakit, tapi yang sakit ruhaninya bukan jasmaninya, maka yang dibutuhkan mereka bukan mengenali obat ruhani supaya menjadi dokter ruhani, tapi diminumi obat ruhani oleh dokter ruhani supaya sakit ruhaninya menjadi sembuh, oleh karena cara mengenali obat itu tentunya berbeda dengan cara orang mengobati orang sakit, maka yang dibutuhkan orang sakit itu bukan kenal obat tapi diminumi obat.
Seperti orang sakit datang ke dokter, maka yang dibutuhkan orang sakit itu bukan mengenal obat tapi diobati oleh dokter supaya penyakitnya menjadi sembuh, demikian pula minuman obat yang dapat menyembuhkan penyakit ruhani yang dicari para elit di hotel berbintang.
Minuman tersebut harus diminum bukan dibicarakan, oleh karena untuk dapat merasakan minuman ruhani itu banyak syarat yang harus dipenuhi, maka solusinya adalah mengikuti jalan ibadah atau thoriqoh yang dibimbing oleh guru ahlinya, yaitu guru mursyid yang suci lagi mulia, disamping mereka memang ahlinya meracik minuman ruhani, juga mampu menghidangkan bahkan menyuapkan obat ruhani itu kepada para murid dan pengikutnya dengan benar.
Jadi makanan ruhani itu hanya bisa didapatkan dengan dzikir dan mujahadah di jalan Allah, bukan dengan kajian secara teori, terlebih yang dijual dengan harga yang tidak murah di hotel-hotel berbintang tersebut.
Demikianlah, maka seharusnya para elit itu tidak hanya cukup mencari makanan ruhani itu dengan mendatangi forum-forum kajian tasawuf saja, tapi juga menindak lanjutinya dengan pelaksanaan dzikir dan mujahadah yang dikelola guru-guru ahlinya.
Yang pertama hukum lazim dan kedua hukum ikhtiari.
Hukum lazim artinya ketentuan Allah yang sudah tidak dapat dirubah lagi oleh usaha manusia, sedangkan hukum ikhtiari artinya ketentuan Allah dimana di dalamnya manusia masih mempunyai kesempatan untuk melaksanakan pilihan dan usaha hidupnya.
Tidak seperti makhluk yang lain, seperti langit, bumi dan gunung-gunung, sejak mereka enggan menerima amanat dari Allah, maka jasad-jasad kasar yang membungkus ruh kehidupan mereka diciptakan sebagai seorang hamba manusia harus melaksanakan seluruh potensi hidupnya untuk beribadah kepada Allah secara vertikal, atau hablum minallah.
Sebagai Khalifah bumi, dengan seluruh potensi hidupnya manusia ikut mengelola potensi alam semata untuk melaksanakan pengabdiannya secara horizontal, atau hamblum minannas dan disesuaikan oleh Dzat Pencipta Yang Maha Perkasa dengan sunnah hukum lazim, bukan hukum ikhtiari.
Artinya sedikitpun iradah (kemauan) mereka tidak mempunyai pilihan hidup lagi kecuali hanya menjalani garis ketetapan takdir tersebut dan Allah mengabarkan hal itu dengan firman-Nya: “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati" Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Fush-Shilat (41) : 11-12).
Dari yang asal mulanya asap kemudian menjadi langit dan isinya, melalui proses penciptaan yang dikehendaki-Nya, maka terciptalah langit tingkat tujuh beserta bintang-bintangnya dan bumi seisinya dengan segala sunnah yang melindunginya, kemudian Allah berfirman kepada langit dan bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya, demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. (41) : 11-12).
Sejak itu, bahan material jasad gunung sebagai rumah kediaman ruh kehidupan gunung ditakdirkan dari tanah yang menancap dan hidup di atas bumi, dengan cara seperti itu gunung menjalani fungsi hidupnya, selamanya, sampai batas usia yang sudah ditentukan baginya.
Selanjutnya gunung itu akan dihancurkan kembali tanpa harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang sudah dijalaninya, demikian pula nasib kehidupan langit, bumi dan binatang-binatang, berbeda manusia, sejak manusia menerima amanat dari Allah, walau sejak saat itu, baik bahan dasar material penciptaan jasadnya sebagai kediaman ruh nismatul 'adamiyah, maupun alam yang mengelilingi kehidupannya, sama seperti bumi dan gunung-gunung, dalam arti diciptakan dalam bingkai sunnah hukum lazim akan tetapi dalam menjalani iradah kemauan hidupnya, manusia mendapatkan kesempatan menjalani dua pilihan hidup, yaitu mengikuti penerapan hukum ikhtiari atau penerapan hukum lazim.
Penerapan hukum ikhtiari artinya, sebagai khalifah bumi manusia berhak memilih jalan hidupnya sendiri, menggunakan kemauan nafsu dan syetan untuk mengingkari Allah dan Rasul-Nya atau menggunakan akal, ilmu dan iman untuk mentaati Allah dan rasul-Nya.
Namun demikian, dua pilihan itu akan membawa dampak dan konsekwensi yang berbeda, dengan nafsu dan syetan manusia akan mendapatkan kesenangan sementara di dunia tapi selanjutnya akan menderita selamanya di neraka, dengan akal, ilmu dan iman manusia akan mendapatkan kebahagian yang abadi di syurga, meski kebahagian itu harus diusahakan dengan susah payah di dunia.
Adapun penerapan hukum lazim artinya, bahwa sejatinya jalan hidup manusia, secara hakiki sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, ketentuan mana yang sudah digariskan Allah melalui ketetapan yang ditulis Malaikat ruh sejak manusia itu masih berbentuk janin di dalam rahim ibunya.
Penerapan hukum ikhtiari ini adalah keutamaan yang hanya diberikan Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lain, kepada malaikat sekalipun, oleh karena itu, apabila manusia mampu menjalankan iradahnya dalam penerapan hukum ikhtiari, diselaraskan kepada hukum lazim yang sudah ditentukan itu, maka berarti manusia telah menjalankan hidupnya mengikuti hidayah Allah.
Namun ternyata sebagian besar manusia hanya menjalankan irodahnya mengikuti penerapan hukum ikhtiari bukan hukum lazim, yaitu kesempatan memilih yang ditawarkan Allah kepadanya, sebagaimana firman Allah : “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (QS. (18) : 29).
Untuk itu, supaya manusia mampu menerapkan hukum ikhtiarinya kepada hukum lazim yang sudah ditetapkan bagi jalan hidupnya, maka tidak seharusnya manusia hanya melengkapi dirinya dengan ilmu syari‘at saja, tapi juga ilmu hakikat.
Dengan penerapan dua ilmu itu secara seimbang, maka manusia dapat menjalankan hidupnya di dalam dua hukum tersebut dengan seimbang pula, syari‘atnya berjalan dengan baik dan hakikatnya juga demikian.
Itulah manusia yang mendekati kepada sempurna (Insan kamil), binatang misalnya, seperti apapun perilaku dan perbuatan yang dilakukan binatang, yang kadang-kadang jauh melanggar norma norma penerapan hukum ikhtiari menurut sudut pandang hukum manusia, betapapun demikian, binatang tidak menjalani sanksi hukum, baik hukum Allah maupun hukum manusia, karena iradah hewan hanya menjalankan penerapan hukum lazim bukan hukum ikhtiari.
Artinya, binatang tidak mempunyai pilihan hidup kecuali yang sudah digariskan untuk mereka, seperti itu pula malaikat, sehingga sedikitpun malaikat itu tidak pernah melanggar larangan Allah dan selalu menjalankan perintah-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim : 6).
Maksudnya, oleh karena jalan hidup malaikat hanya menerapkan hukum lazim, bukan hukum ikhtiari, maka mereka tidak mempunyai kesempatan baik untuk berbuat dosa maupun mendapatkan pahala.
Pengenalan tentang dua hukum alam ini (sunnatullah), adalah ilmu dasar yang tidak bisa tidak, harus difahami orang-orang beriman, diterapkan secara seimbang di dalam perilaku dan perbuatan yang dijalani, dengan itu kehidupan manusia, baik jasmani maupun ruhani akan berjalan dengan seimbang pula.
Contohnya, setiap orang beriman pasti yakin bahwa alam semesta ini, dan juga kehidupannya sendiri sudah ada yang mengatur, yaitu Dzat yang Maha Pencipta, Allah Rabbul Alamin, sedangkan manusia sebagai kholifah bumi, wajib mengatur baik kehidupannya sendiri maupun keluarganya untuk mengikuti hidayah Allah.
Oleh sebab itu, apabila cara manusia mengatur hidupnya itu hanya mengikuti hukum ikhtiari saja, maka tanpa sadar, seringkali aturan manusia itu tidak bersesuaian dan bahkan berbenturan dengan hukum lazim yang sudah ditetapkan baginya.
Akibatnya ketika ternyata perencanaan manusia dalam mengatur hidupnya itu meleset dan gagal, maka seketika manusia menjadi putus asa yang akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai macam penyakit yang menyerang baik fisik maupun psikis mereka.
Inilah rahasianya, mengapa kebanyakan orang beriman yang menjalankan kehidupan agamanya dijalan thariqat yang terbimbing, meski kelihatannya kehidupan lahir mereka serba kekurangan, tapi kehidupan batinnya tetap dalam keadaan kaya.
Cerminan wajahnya mampu menunjukkan kedamaian yang hakiki itu, bahkan mereka selalu berhasil menyikapi karakter duniawi yang harus mereka hadapi sehari-hari, baik susah maupun senangnya dengan benar, terlebih mereka yang mendapatkan kelebihan harta benda.
Yang demikian itu, dengan dzikir dan wirid yang mereka dawamkan setiap hari, tanpa terasa berarti mereka telah melatih diri untuk menjalankan dua sunnah itu sekaligus di dalam hidupnya dengan seimbang.
Jadi, pelaksanaan thariqat itu sejatinya adalah kebutuhan hidup yang tidak dapat ditawar lagi, baik untuk orang tua yang ingin mengendalikan intensitas rasional dan emosional yang sudah kadung kebablasan melebihi kemampuan spiritualitas yang dimiliki, terlebih anak muda yang memang intensitas rasional dan emosional itu sedang harus tinggi.
Dengan berthariqat berarti orang beriman telah mengelola kehidupan spiritualnya dengan benar, supaya ketika kehidupan spiritual itu menjadi kuat, maka ketiga instrumen kehidupan manusia itu, baik rasional, emosional dan spiritual bisa berjalan dengan seimbang.
Di saat manusia sudah memasuki usia senja misalnya, ketika kemampuan rasionalitas yang dimiliki seringkali tidak mampu mengcover kehidupan disebabkan karena intensitas emosional berjalan semakin tinggi sehingga hidup terasa menjadi resah, maka baru mereka sadar akan kebutuhan makanan spiritual itu.
Mereka mencari makanan ruhani ini, terlebih dari kalangan menengah ke atas, dengan mendatangi forum-forum kajian tasawuf yang diselenggarakan di hotel-hotel berbintang, mereka mengira makanan ruhani itu bisa didapatkan disana, namun oleh karena pengelola forum kajian tersebut bukan ahlinya.
Dalam arti pengelola itu hanya menguasai tasawuf secara teori, sedang yang diharapkan para peserta itu adalah pelaksanaan tasawuf secara amali, maka yang didapatkan hanyalah makanan rasional lagi, bukan makanan spiritual yang diharapkan.
Makanan spiritual itu ibarat orang minum obat, sehingga badannya menjadi sehat dan segar, sedangkan yang dibahas di dalam forum-forum elit itu ibarat orang mempelajari racikan minuman obat, meskipun mempelajari racikan minuman obat itu penting, akan tetapi tentunya tidak sama, orang minum minuman dengan orang belajar meracik minuman.
Terlebih lagi karena seorang yang ahli meracik minumanpun tersebut belum tentu mampu merasakan minuman yang diraciknya sendiri dengan nyaman, hal itu disebabkan, karena untuk merasakan minuman dengan nyaman itu, disamping minuman itu memang rasanya harus nyaman, orang yang minum itupun harus dalam keadaan sehat lahir batin.
Orang-orang yang sedang resah dan gelisah itu ibarat orang sakit, tapi yang sakit ruhaninya bukan jasmaninya, maka yang dibutuhkan mereka bukan mengenali obat ruhani supaya menjadi dokter ruhani, tapi diminumi obat ruhani oleh dokter ruhani supaya sakit ruhaninya menjadi sembuh, oleh karena cara mengenali obat itu tentunya berbeda dengan cara orang mengobati orang sakit, maka yang dibutuhkan orang sakit itu bukan kenal obat tapi diminumi obat.
Seperti orang sakit datang ke dokter, maka yang dibutuhkan orang sakit itu bukan mengenal obat tapi diobati oleh dokter supaya penyakitnya menjadi sembuh, demikian pula minuman obat yang dapat menyembuhkan penyakit ruhani yang dicari para elit di hotel berbintang.
Minuman tersebut harus diminum bukan dibicarakan, oleh karena untuk dapat merasakan minuman ruhani itu banyak syarat yang harus dipenuhi, maka solusinya adalah mengikuti jalan ibadah atau thoriqoh yang dibimbing oleh guru ahlinya, yaitu guru mursyid yang suci lagi mulia, disamping mereka memang ahlinya meracik minuman ruhani, juga mampu menghidangkan bahkan menyuapkan obat ruhani itu kepada para murid dan pengikutnya dengan benar.
Jadi makanan ruhani itu hanya bisa didapatkan dengan dzikir dan mujahadah di jalan Allah, bukan dengan kajian secara teori, terlebih yang dijual dengan harga yang tidak murah di hotel-hotel berbintang tersebut.
Demikianlah, maka seharusnya para elit itu tidak hanya cukup mencari makanan ruhani itu dengan mendatangi forum-forum kajian tasawuf saja, tapi juga menindak lanjutinya dengan pelaksanaan dzikir dan mujahadah yang dikelola guru-guru ahlinya.
Posting Komentar untuk "Hukum Ladzim Dan Ihktiari"
Terimakasih atas kunjungan anda...