LEBIH LANJUT HUKUM ZHIHAR
Zhihar ini secara bahasa merupakan asal kata dari kata “zhahrun” artinya adalah “punggung” namun akhirnya akrab dengan penyebutan kata-kata “zhihar”.
Dahulu kata-kata ini di gunakan untuk menceraikan seorang isteri bagi umat jahiliyah zaman dahulu dengan cara menyebutkan isterinya serupa dengan punggung ibunya sendiri, dengan cara inilah dahulunya sebelum Islam, seseorang yang apabila tidak menyukai isterinya lagi maka akan berkata sedemikian, contohnya : “Engkau bagiku laksana punggung ibuku” perkataan ini apabila di ucapkan dengan kata-kata lain yang kira-kira semakna dengan sesuatu pada ibu maka hukumnya adalah tetap sama, yaitu “Zhihar”.
Hukum ini merupakan dari dasar kesepakatan ulama adalah “Haram” dengan dasar pada firman Allah Swt pada Surah Al-Mujadalah Ayat 2-4), dalam ayat tersebut memang dengan jelas menyatakan bahwa apabila seseorang telah melakukan perkataan zhihar, maka itu aadalah tertolak dan merupakan suatu perkataan mungkar dan dusta, demikian yang di sebutkan Allah Swt mengenai hukum persoalan ini pada surah tersebut.
Secara umum pengertian ucapan zhihar adalah menyerupakan isteri dengan ibu sendiri, Allah Swt menurunkan hukum adalah juga pada yang menghela kepadanya, yakni begitu juga pada atau sebaliknya, yaitu isteri menyerupakan suaminya dengan ibunya sendiri, hal ini berlaku secara menyeluruh bagi mahramnya secara kedua belah, atau sama dengan hukum nikah berikut dengan aturan-aturan mahramnya.
Atas ketentuan di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa setiap perkataan yang berbentuk fisik ibu atau mahram lainnya secara utuh yang mana saja, misalnya hidung, bibir, tangan, kaki dan lain sebagainya, maka hukumnya adalah tetap “Zhihar” sebab apabila meyerupakan sesuatu kepunyaan bersifat fisik dari seorang isteri atau suami, maka pada hakikatnya adalah sama saja dengan menikahi ibunya sendiri atau mahramnya yang jelas hukumnya adalah “Haram”. Pendapat ini di sepakati oleh seluruh mahdzab (Haanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Hal ini tampak nyata pada riwayat ini : Ada seseorang suami yang memanggil isterinya “Wahai Ukhti”, mendengar hal tersebut Rasulullah Saw bertanya kepadanya,”Apakah dia memang saudarimu?” (H.R. Abu Daud), Rasulullah Saw membenci hal tersebut dan melarang hal tersebut kedepannya.
Imam Ahmad menegaskan “Sesungguhnya penyerupaan istri dengan mahram selain dari ibu adalah zhihar”. Pengharaman penyerupaan kepada mahram selain dari ibu, berdasarkan qiyas yang mana yang menjadi ‘Illatnya adalah pengharaman yang kekal, dan pengharaman yang kekal ini hanya ada pada mahram yang tidak boleh di nikahi.
Denda atau kaffarat atas pelanggaran ini sesuai pada Surah Al-Mujadalah Ayat : 3 mengatakan adalah dengan memerdekakan seorang budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang, juga seperti pada ucapan Rasulullah Saw, yaitu : “Sesungguhnya seorang menzhihar istrinya, kemudian dia mencampurinya, kemudian dia datang menghadap Rasulullah Saw seraya berkat, “Sesungguhnya saya sudah mencampuri Istri saya sebelum saya kifarat.” Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu dekati dia (menyetubuhi istrinya), sehingga melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan.”.(H.R. Abu Dawud, Tarmidzi, An-nasa’i dan Ibnu Majah). Dan juga hadist Rasulullah Saw,“Dari Salamah bin Shakhr Al-Bayadhl bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang, ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan berakhir.
Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka jawab mereka, ’kami tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya. Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini. Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw. kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki (seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang telah menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami telah menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan makan malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).”(H.R. Ibnu Majah dan Tarmidzi).
Begitulah para ulama telah bersepakat bahwa zhihar adalah haram dan tidak boleh di berlakukan kembali, karena hal tersebut merupakan kedustaan dan suatu perbuatan dosa, zhihar berbeda dengan thalak, karena thalak di syari’atkan dalam Islam sementara zhihar di larang, jika seseorang menzhihar istrinya berarti telah melakukan perbuatan yang di haramkan dan harus membayar kaffarat sebagaimana hukum dalam Islam apabila telah melakukan hal yang haram maka adalah ada denda atau kaffaratnya.
Dahulu kata-kata ini di gunakan untuk menceraikan seorang isteri bagi umat jahiliyah zaman dahulu dengan cara menyebutkan isterinya serupa dengan punggung ibunya sendiri, dengan cara inilah dahulunya sebelum Islam, seseorang yang apabila tidak menyukai isterinya lagi maka akan berkata sedemikian, contohnya : “Engkau bagiku laksana punggung ibuku” perkataan ini apabila di ucapkan dengan kata-kata lain yang kira-kira semakna dengan sesuatu pada ibu maka hukumnya adalah tetap sama, yaitu “Zhihar”.
Hukum ini merupakan dari dasar kesepakatan ulama adalah “Haram” dengan dasar pada firman Allah Swt pada Surah Al-Mujadalah Ayat 2-4), dalam ayat tersebut memang dengan jelas menyatakan bahwa apabila seseorang telah melakukan perkataan zhihar, maka itu aadalah tertolak dan merupakan suatu perkataan mungkar dan dusta, demikian yang di sebutkan Allah Swt mengenai hukum persoalan ini pada surah tersebut.
Secara umum pengertian ucapan zhihar adalah menyerupakan isteri dengan ibu sendiri, Allah Swt menurunkan hukum adalah juga pada yang menghela kepadanya, yakni begitu juga pada atau sebaliknya, yaitu isteri menyerupakan suaminya dengan ibunya sendiri, hal ini berlaku secara menyeluruh bagi mahramnya secara kedua belah, atau sama dengan hukum nikah berikut dengan aturan-aturan mahramnya.
Atas ketentuan di atas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa setiap perkataan yang berbentuk fisik ibu atau mahram lainnya secara utuh yang mana saja, misalnya hidung, bibir, tangan, kaki dan lain sebagainya, maka hukumnya adalah tetap “Zhihar” sebab apabila meyerupakan sesuatu kepunyaan bersifat fisik dari seorang isteri atau suami, maka pada hakikatnya adalah sama saja dengan menikahi ibunya sendiri atau mahramnya yang jelas hukumnya adalah “Haram”. Pendapat ini di sepakati oleh seluruh mahdzab (Haanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Hal ini tampak nyata pada riwayat ini : Ada seseorang suami yang memanggil isterinya “Wahai Ukhti”, mendengar hal tersebut Rasulullah Saw bertanya kepadanya,”Apakah dia memang saudarimu?” (H.R. Abu Daud), Rasulullah Saw membenci hal tersebut dan melarang hal tersebut kedepannya.
Imam Ahmad menegaskan “Sesungguhnya penyerupaan istri dengan mahram selain dari ibu adalah zhihar”. Pengharaman penyerupaan kepada mahram selain dari ibu, berdasarkan qiyas yang mana yang menjadi ‘Illatnya adalah pengharaman yang kekal, dan pengharaman yang kekal ini hanya ada pada mahram yang tidak boleh di nikahi.
Denda atau kaffarat atas pelanggaran ini sesuai pada Surah Al-Mujadalah Ayat : 3 mengatakan adalah dengan memerdekakan seorang budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang, juga seperti pada ucapan Rasulullah Saw, yaitu : “Sesungguhnya seorang menzhihar istrinya, kemudian dia mencampurinya, kemudian dia datang menghadap Rasulullah Saw seraya berkat, “Sesungguhnya saya sudah mencampuri Istri saya sebelum saya kifarat.” Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu dekati dia (menyetubuhi istrinya), sehingga melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan.”.(H.R. Abu Dawud, Tarmidzi, An-nasa’i dan Ibnu Majah). Dan juga hadist Rasulullah Saw,“Dari Salamah bin Shakhr Al-Bayadhl bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang, ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan berakhir.
Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka jawab mereka, ’kami tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya. Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini. Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw. kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki (seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang telah menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami telah menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan makan malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).”(H.R. Ibnu Majah dan Tarmidzi).
Begitulah para ulama telah bersepakat bahwa zhihar adalah haram dan tidak boleh di berlakukan kembali, karena hal tersebut merupakan kedustaan dan suatu perbuatan dosa, zhihar berbeda dengan thalak, karena thalak di syari’atkan dalam Islam sementara zhihar di larang, jika seseorang menzhihar istrinya berarti telah melakukan perbuatan yang di haramkan dan harus membayar kaffarat sebagaimana hukum dalam Islam apabila telah melakukan hal yang haram maka adalah ada denda atau kaffaratnya.
Posting Komentar untuk "LEBIH LANJUT HUKUM ZHIHAR"
Terimakasih atas kunjungan anda...