Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

SHALAT SESUAI SYARIAT NABI SAW

Agar shalat kita mengikuti sifat shalat Nabi Saw, maka imam - imam ahlussunnah (4 Madzab) telah menyusun kitab - kitab fiqh shalat, dalam kitab – kitab tersebut telah di bahas dengan lengkap mengenai rukun shalat (juga rukun tiap - tiap rukun shalat tersebut), syarat syahnya shalat , sunah - sunah dalam shalat ddan sebagainya, dengan dalil - dalil dan hujjah yang shahih.

Fiqh shalat inilah yang di pegang dan di pelihara oleh ulama - ulama ahlussunnah dan umat muslim di seluruh dunia, kebanyakan muslimin sekarang tidak tahu mana yang rukun wajib dalam shalat dan mana yang sunnah (tidak wajib) dalam shalat, musuh - musuh Islam dengan berkedok Islam / salafy / ahlussunnah telah menyesatkan umat ini dengan membuat cara - cara shalat dengan membuat dusta dengan dalil - dalil yang tidak lengkap.


Rukun shalat menurut Imam Ahlussunnah dan jelas keshahihannya ada sebanyak 17 (tujuh belas) adalah sebagai berikut hadist – hadist riwayatnya.

Hadist 1
Sebagaimana yang di ambil dari hadits Rasulullah Saw yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah Ra sesungguhnya Rasullulah Saw berkata : “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat maka berwudhu’lah dengan sempurna, kemudian menghadap kiblat, kemudian engkau bertakbir kemudian bacalah yang termudah bagimu dari Al-Qur’an, kemudian engkau beruku’ hingga tuma’ninah dalam beruku’ kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal), kemudian bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud, kemudian angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu kemudian engkau sujud kedua kalinya hingga bertuma’ninah dalam sujud, kemudian lakukanlah seperti yang tadi di seluruh shalatmu.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim). Dan dalam Riwayat Muslim Rasullulah Saw berkata : “Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu.”

Hadits 2
Riwayat Ibnu Umar Ra, Rasulullah Saw berkata : “Ketika duduk untuk bertasyahud menaruh tangan kiri di atas lutut sebelah kiri dan tangan kanannya di atas lutut sebelah kanan, dan memajukan jari telunjuk, dan dalam riwayat Muslim (mengumpulkan semua jarinya dan menunjuk dengan jari yang setelah jari jempol).

Hadits 3
Riwayat Abu Mashud Ra sahabat Basyir bin Sa’id. Kita di perintah untuk bershalat, maka bagaimana kami bershalawat keatasmu, kemudian Rasulullah Saw terdiam, lalu Rasulullah Saw menjawab,”Katakanlah, Allahumma Shalli’alla Muhammadin wa’alla aali Muhammad kama shalaita ‘ala Ibrahimma… sampai dengan akhir shalawat Ibrahimiyah.” (H.R. Muslim).

Hadits 4
Sabda Rasulullah Saw,”Sesungguhnya Rasulullah Saw menutup shalatnya dengan salam.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim) dan dari Wail bin Hujr Ra,”Aku shalat bersama Rasulullah Saw dan beliau salam awal sebelah kanan (Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh) dan salam akhir sebelah kiri (Assalamu’alaikum warahmatullahhi wabarakaatuh)…( H.R. Abu Daud dengan sanad shahih).

RUKUN SHALAT

1. Niat.
Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat,,,. dan Hadits Rasulullah Saw,”Sesungguhnya amal itu dengan niat.” Berniat dalam hati untuk melakukan shalat dan menjelaskan sebabnya atau waktunya (kalau memang shalat tersebut memiliki sebab atau waktu tertentu) dan di niatkan fardliyahnya (kewajibannya) pada shalat fardlu.

Masalah lafadz niat itu adalah demi ta’kid saja, (penguat dari apa yang di niatkan), bahwa lafadz niat ini bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja arah dan tujuan shalat apa yang kita kerjakan, jika niat terbetik di dalam hati untuk menentukan ini shalat untuk waktu dan jenis apa, maka sudah cukup dan memadai.

Niat shalat di lafadzkan sebelum takbir adalah sunnah, untuk menuntun hati, sebagaimana dalam hadits : “Tidak akan lurus iman atau keyaqinan seorang hamba sebelum hatinya betul, tidak akan betul atau lurus hati seorang hamba sebelum lisannya lurus, tapi karena niat adalah wajib di lakukan pada saat beramal.” , maka pada saat mengucapkan lafadz Takbir Allahu Akbar, bersamaan ia harus berniat dalam hati, minimum dalam shalat wajib atau fardhu, contohnya : Ushalli fardhaz dzhuhri…dst.

2. Menghadap kiblat dan berdiri dalam shalat Fardhu.
Hendaknya seseorang menghadap kiblat sebelum bertakbir dan berdiri dalam shalat fardlu bagi yang mampu.

3. Bertakbir,
Yaitu membuka shalat dengan takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi.i, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafadz ‘Allaahu Akbar). Mengucapkan Allahu Akbar (takbiratul ihram) sekiranya ia sendiri bisa mendengar suaranya sebagaimana hal ini juga di lakukan pada setiap rukun qauli. Tidak sah shalatnya orang yang bertakbiratul bila dalam hati, baik ia jadi imam, ma’mum atau shalat sendirian (munfarid). Lafadz ‘Allaahu Akbar, harus terdengar di telinga, dari huruf alif (a') sampai huruf ra (.r.). Inilah perkara yang sangat penting dalam rukun takbir.

4. Membaca Alfatihah,
Para ulama sepakat Imam Syafi.i, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Al-Fatihah di setiap raka’atnya, sebagaimana Hadits Rasulullah Saw : “Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca ummul Qur’an (Al Fatihah).” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Membaca al Fatihah dengan Basmalah dan semua tasydid - tasydidnya dan di syaratkan muwalah (bersambungan, tidak terputus dengan berhenti atau diam yang lama misalnya) dan tertib serta mengeluarkan huruf sesuai makhrajnya dan tidak melakukan kesalahan pada bacaan yang sampai merubah makna seperti mendlammahkan huruf, dan jangan salah membaca sepanjang tidak merubah akan makna, tetapi hal tersebut tidaklah membatalkan shalat.

Mengenai posisi kedua tangan (bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Al-Hafidh Imam Nawawi : “Meletakkannya di bawah dadanya dan di atas pusarnya, inilah madzhab kita yg masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan di bawah pusar, menurut Imam Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan di bawah dadanya atau melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yang masyhur pada mereka. (Syarah Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 4 hal 114).

Dari penjelasan ini fahamlah kita bahwa pendapat yg Jumhur (kesepakatan terbanyak dari seluruh Imam dan Muhaddits) adalah menaruh kedua tangan di antara dada dan pusar, walaupun riwayat yang mengatakan di atas dada itu shahih, namun pendapat Ibnu Mundzir, bahwa hal itu tak ada kejelasan yang nyata, bahwa Nabi Saw menaruh kedua tangannya di atas dada, maka orang bolehlah memilih. (Aunul Ma’bud Juz 2 hal 323).

5. Ruku’.
Di riwayatkan oleh sahabat Rasulullah Saw dari Ubbai Assaa’idi Ra, ia berkata : “Bahwasanya ia melihat Rasulullah Saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika ruku’ kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir hadist...” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).

6. Tuma’ninah dalam ruku’.
Sebagaimana hadits 1 di atas, kemudian engkau ruku’ hingga tuma’ninah dalam ruku’...Thuma’ninah ketika ruku’ dengan membaca tasbih. Thuma’ninah adalah diamnya seluruh persendian tulang (anggota badan) pada posisinya sekaligus (serentak).

7. I.tidal.
Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal).

8. Tuma’ninah dalam I’tidal.
Apabila berdiri lagi (I’tidal), maka harus tuma’ninah, yakni posisikan seluruh ruas tulang agar kembali pada posisinya semula serta diam pada persendiannya, justru dalam aturan inilah maka jika shalat jangan tergesa – gesa, karena posisi tulang belulang badan pada setiap gerakan shalat harus menempati pada posisinya dalam keadaan gerak apapun dalam gerakan shalat.

Mengenai Qunut, memang terdapat Ikhtilaf pada 4 madzhab, masing - masing mempunyai pendapat,sebagaimana Imam Syafi’i mengkhususkannya pada setelah ruku’ pada raka’at kedua di shalat subuh, dan Imam Malik mengkhususkannya pada sebelum ruku’ pada raka’at kedua di shalat subuh (Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughulmaram Bab I), mengenai Qunut dengan mengangkat kedua tangan telah di lakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, maaf… saya tak bisa menyebutkan satu - persatu, karena keterbatasan bulletin ini, namun hal itu teriwayatkan pada : Sunan Imam Baihaqi Al-Kubra Juz 2 Hal. 211 Bab Raf’ul yadain filqunut, Sunan Imam Baihaqi pada AL-Kubra Juz 3 hal. 41, Fathul Baari Imam Ibnu Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal. 178 dan hal 201, Syarah Nawawi Ala Shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 Hal. 324, dan banyak lagi.

Mengenai dalil shahih masalah qunut, sanadnya adalah sebagai berikut : Di katakan oleh Umar bin Ali Al -Bahiliy, di katakan oleh Khalid bin Yazid, dan di katakan Ja’far Ar-Raziy, dari Ar-Rabi, ia berkata : Anas Ra di tanya tentang Qunut Nabi Saw bahwa apakah betul beliau Saw berqunut sebulan, maka berkata Anas Ra : “Beliau Saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi Saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau Saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi Saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yang di maksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendo’akan kehancuran atas musuh - musuh, lalu (setelah sebulan) beliau Saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau Saw wafat.

Bisyarah shahih Bukhari oleh Imam Ibnu Hajar Al -Asqalaniy) Dan berkata Imam Ibnu Abdul Barr : “Sungguh telah shahih bahwa Rasul Saw tidak berhenti Qunut subuh hingga wafat, di riwayatkan oleh Abdurrazaq dan Ad-Daruquthniy dan di shahihkan oleh Imam Al-Hakim, dan telah kuat riwayat Abu Hurairah Ra bahwa ia membaca Qunut subuh di saat Nabi Saw masih hidup dan setelah beliau Saw wafat, dan di katakan oleh Al-Hafidh Al-Iraqiy, bahwa yang berpendapat demikian adalah Khulafaur Rasyidin yang empat (Abubakar, Umar, Utsman dan Ali Ra), dan Abu Musa Ra, Ibnu Abbas Ra, dan Al-Barra, dan lalu di antara para Tabi’in : Hasan Al-Bashri, Humaid, Rabi bin Khaitsam, Sa’id ibn Musayyab, Thawus, dan banyak lagi, dan di antara para Imam yang berpegang pada ini adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i, walaupun ada juga yang mengatakan bahwa Khulafaur Rasyidin tidak memperbuatnya, namun kita berpegang pada yang memperbuatnya, karena jika berbenturan hukum antara yang jelas di lakukan dengan yang tak di lakukan, maka hendaknya mendahulukan pendapat yang menguatkan melakukannya daripada pendapat yang menghapusnya. (Syarah Azzarqaniy alal Muwatta Imam Malik).

Imam Ibn Abdul Bar kemudian menyebutkan pula pendapat yang menentang pendapat di atas, walhasil saudaraku, tak perlu di perpanjang perdebatan masalah Qunut, karena telah baku bahwa Imam Malik dan Imam Syafi’i melakukannya, dan Imam Hanafi dan Imam Hambali tak melakukannya.

9. Sujud pertama dan Sujud kedua,
Sujud juga dengan bertuma’ninah dalam waktu sujud tersebut, dan Hadits Rasulullah Saw : “Aku di perintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari - jari kaki).” (H.R. Muttafaq alaih). Juga hadist ini,”Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.” (H.R. Muslim).

10. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua.
Sujud ini juga sama dengan di atas, yakni harus juga bertuma’ninah, sujud dua kali yaitu dengan meletakkan dahinya semuanya atau sebagiannya pada tempat shalatnya dalam keadaan terbuka dan melakukan penekanan padanya serta menjadikan bagian bawah (belakang) badannya lebih tinggi dari bagian atas (depan)nya, dan meletakkan sebagian dari kedua lututnya dan bagian dalam kedua telapak tangannya dan bagian dalam jari - jari kedua kakinya.

11. Duduk di antara dua sujud,
Kemudian angkat kepalamu dan lakukan duduk antara dua sujud, sebagaimana pada riwayat hadist di atas.

12. Tuma’ninah di antara dua sujud.
Dalam pelaksanaan duduk antara dua sujud ini juga laksanakan tuma’ninah.

13. Tasyahud akhir.
Riwayat Muslim dari Ibnu Abbas Ra, ia berkata Rasulullah Saw mengajari kami tasyahud dengan bacaan Attahiyaatul mubaarakatus shalawatutthaybatulillah… sampai dengan akhir. Dan pada tasyahhud akhir, yaitu membaca tasyahud sampai habis hingga akhirnya, sedangkan pada tasyahud awal hanya sampai shalawat atas Nabi Muhammad Saw.

Mengenai mengucapkan ‘Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu.wr.wb, adalah wajib dan merupakan syarat sah shalat, demikian dalam Madzhab Syafi’i, dan pendapat para muhaddits lainnya bahwa setelah wafat mereka merubah pembacaan salam itu, maka Imam Syafi’i tetap berpegang pada yang di ajarkan langsung oleh Rasulullah Saw di masa hidupnya, sedangkan sebagian besar Jumhur (sebagian besar) ulama tetap berpegang pada lafadz yang di ajarkan di masa hidupnya Nabi Saw, dan di dalam madzhab Syafi’i tidak sah terkecuali mengucapkan “‘Assalamualaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakatuh.” (AL-Majmu’ Juz 4 hal. 81), dan Imam Syafi’i memang merupakan satu satunya Imam yang sangat berhati - hati dalam memutuskan hukum dan fatwa, terbukti sebagian besar ulama bermadzhabkan Syafi’i.

14. Duduk diTasyahud akhir,
Sebagaimana hadits 2 di atas, ketika duduk untuk bertasyahud.

15. Bershalawat kepada Rasulullah Saw.
Sesuai dengan riwayat hadits 3 di atas, kita di perintah untuk bershalawat, maka bagaimana kami bershalawat atasmu...Imam Syafi’i berpendapat bahwa beshalawat atas Rasulullah Saw dan keluarganya dalam shalat adalah wajib bagi kita, sebagaimana bunyi pada hadits 3 di atas.

Shalawat kepada Nabi Saw paling sedikit membaca : "Allahummashalli ‘ala Muhammad", ucapan - ucapan itu boleh saja di lakukan dan boleh tidak, karena tak ada perintah dalam hadits beliau Saw yang menjelaskan kita harus memanggil dengan Sayyidina atau lainnya, maka menambahi nama sahabat dengan Radhiyallahu’anhu pun boleh atau boleh pula tidak, atau saat shalat kita membaca surat dan menyebut nama para nabi, maka boleh mengucapkan atau menambahkan ‘alaihissalam, namun yang jadi masalah adalah mereka yang tak mau atau bahkan melarang menyebut sayyidina pada para sahabat, bahkan pada Rasulullah Saw, karena Rasulullah Saw memperbolehkannya, sebagaimana sabda Beliau Saw : “Janganlah kalian berkata : “Beri makan Rabbmu, wudhu’ kan Rabbmu, Rabb juga bermakna pemilik, ucapan ini adalah antara budak dan tuannya di masa jahiliyah, tapi ucapkanlah (pada tuan kalian) Sayyidi dan Maulai (tuanku dan junjunganku), dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka : “Wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : “Wahai anak, wahai pembantu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Jelaslah bila budak saja di perbolehkan mengucapkan hal itu pada tuannya, bagaimana kita kepada sahabat yang mereka itu adalah guru - guru mulia seluruh muslimin, sebagaimana ucapan yang masyhur di kalangan sahabat : “Aku adalah budak bagi mereka yang mengajariku satu huruf, atau hadits Nabi Saw yang bersabda : “Bila seseorang telah mengajarkanmu satu ayat, maka engkau telah menjadi budaknya.” Maksudnya sepantasnya kita memuliakan guru – guru kita, lebih - lebih lagi para sahabat, karena para sahabat sendiri satu sama lain mengucapkan, Rasulullah Saw bersabda di hadapan para sahabat seraya menunjuk Hasan bin Ali Ra : “Sungguh putraku ini (Hasan bin Ali) adalah Sayyid, dan ia akan mendamaikan dua kelompok muslimin.” (H.R. Bukhari).

Umar bin Khattab Ra kepada Abu Bakar Shidiq Ra : “Aku membai’atmu, engkau adalah sayyiduna, wa khairuna, wa ahibbuna (engkaulah pemimpin kami, yg terbaik dari kami, dan yang tercinta dari kami).” (H.R. Bukhari). Umar Ra juga berkata kepada Bilal dengan ucapan Sayyidina.” (H.R. Bukhari). Dan masih banyak lagi dalil - dalil shahih mengenai hal ini.

16. Salam
Sebagaimana hadits 4 di atas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw menutup shalatnya dengan salam.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).

Para Imam beritifak, bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunnah, dan paling sedikitnya ucapan salam adalah “Assalamu’alaikum” di karenakan penduduk madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam Imam Alwi bin Abbas Al-Maliki).

17. Tertib.
Menurut urutan rukun, rukun hadits di atas, adalah harus tertib (berurutan). Dan jika dia sengaja meninggalkannya (tertib) seperti melakukan sujud sebelum ruku’, maka batal shalatnya, dan jika dia lupa maka hendaklah dia kembali ke posisi yang ia lupa kecuali dia pada posisi tersebut (tetapi dalam raka’at lain) atau setelahnya maka dia menyempurnakan raka’atnya dan raka’at di mana dia ada yang lupa salah satu gerakannya tidak di hitung (di abaikan), maka jika dia tidak ingat bahwa dia telah meninggalkan ruku’, kecuali setelah ia ruku’ pada raka’at sesudahnya atau ketika sujud pada raka’at sesudahnya, maka gerakan yang ia lakukan antara yang demikian itu di abaikan (tidak di hitung).

Sangat perlu untuk di ingat :
Mengenai qadha’ shalat fardhu, hukumnya adalah wajib menurut kemampuannya, dalilnya adalah ketika “Nabi Saw dan para sahabat terbangun terlambat shalat subuh setelah terbitnya matahari, Nabi Saw dan sahabat meng Qadha’nya saat setelah terbangun, dan Nabi Saw memerintahkan sahabat untuk tetap sakinah, jangan terburu - buru dalam wudhu’ lalu merekapun mengqadha’ shalat subuh setelah terbit matahari.” (H.R. Muslim).

Mengenai menempelkan kaki dan kerapatan shaf mengenai hadits - hadits nya adalah hadits - hadits shahih, dan sangat banyak teriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan muslim, saya tak mungkin menyebutkannya satu persatu, namun keberadaannya adalah sunnah, bukan rukun shalat, maka jika shaff shalat tidak rata dan teratur maka shalatnya tetap sah namun merupakan hal yang makruh, telah berkata demikian “Al-Hafidh Al-Imam Ibnu Rajab, bahwa meratakan shaff adalah hal yang merupakan bentuk kesempurnaan shalat.” (Fathul Baari li Ibnu Rajab Bab Shalat Juz 5 hal.142), namun Imam Ibn Rajab menjelaskan pula mengenai pendapat Imam Bukhari bahwa mereka yang tak meratakan shaf itu berdosa, maka Imam Ibn Rajab menjelaskan bahwa yang di maksud adalah jika mereka menolak dan tidak mau (bukan tak sengaja) untuk meratakan shaf nya (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab shalat Juz 5 hal 143), demikian pula di jelaskan oleh Imam Ibn Batthal dalam kitabnya, bahwa meratakan shaff merupakan salah satu dari sunnahnya shalat, dan tidak melakukannya tidak membatalkan shalat (Sharah Shahih Bukhari li Ibn Batthal Juz 3 hal. 424), walaupun ada ikhtilaf dalam hal ini.

Mengenai Isbal (tidak membuat pakaian menjela atau memanjang di bawah mata kaki) adalah sunnah Rasulullah Saw dalam shalat dan di luar shalat, demikian di sebutkan dalam hadits Shahih dalam Kitab Syama’il oleh Imam Tarmidzi, dan bukanlah merupakan hal yang wajib, sebagaimana di pahami dari matan hadits bahwa hal itu adalah wajib namun Ijma.

Ulama sepakat bahwa hal itu adalah sunnah mu’akkad, tentang amalan setelah shalat (setelah mengucapkan salam berarti shalat sudah selesai) di antaranya yang menjadi amalan umat muslim ialah Sunnah menyapu muka, mengenai hal akan saya jelaskan sebagai berikut : Syaikh Daud bin ‘Abdullah Al-Fathani, yang menyebut dalam Kitabnya Munyatul Musholli Halaman 18, antara lain : Adapun sunnat yang di kerjakan kemudian daripada sembahyang, maka adalah Nabi Saw apabila selesai daripada sembahyang menyapu dengan tangannya di atas kepalanya dan di bacanya: Dengan nama Allah yang tiada tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kebingungan (stress) dan kedukaan…

Alangkah indahnya amalan ini, di mana kita memohon kepada Allah Swt agar segala yang membingungkan kita, yang menggundahkan hati sanubari kita, yang bikin kita stress, yang membuat kita berduka cita, kedukaan dunia dan lebih – lebih lagi di akhirat nanti, biarlah di hilangkan oleh Allah Swt segala kedukaan tersebut daripada kita, amalan ini bukanlah memandai para ulama membuatnya tetapi ada sandarannya daripada hadits Junjungan Nabi Saw, dan jika pun hadits - hadits ini tidak shahih (yakni dhaif) maka faedah yang di pakai oleh ulama kita ialah fadhail amal atau tambahan amalan semata.

Demikianlah sandaran kita untuk beramal dengan mendirikan shalat sesuai yang di contohkan Rasulullah Saw berdasarkan riwayat – riwayatnya yang shahih.

Posting Komentar untuk "SHALAT SESUAI SYARIAT NABI SAW"