Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

ADAB JIMA’ MENURUT SYARI’AT

Dalam agama Islam, semua sudah di atas ketentuan hukum dalam praktek pelaksanaan kehidupan sehari – hari, tidak terkecuali mengenai masalah hubungan intim antara suami dan isteri (jima’), muncul persoalan bagaimana yang di anjurkan oleh agama (Al-Qur’an dan Hadist Nabi Saw) setelah menikah? Hal ini di anjurkan sebagai berikut, yaitu :

1. Seseorang pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun - ubun atau kening isterinya seraya mendo’akan baginya dengan dasar dari hadist Rasulullah Saw sebagai berikut,”Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak, maka peganglah ubun - ubunnya lalu bacalah “basmalah” serta do’akanlah dengan do’a berkah dengan ucapan : “Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa, dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.” (jika mau teks arabnya lihat pada kitab – kitab shahih imam hadist terkemuka).

2. Sebelumnya hendaklah mereka melaksanakan ibadah shalat sunnah dua raka’at secara berjama’ah bersama – sama dengan isterinya. Hal ini adalah ada dasarnya pada sahabat – sahabat (atsar) dan ulama – ulama salaf yang terpercaya dengan riwayat berikut ini : Dari Abu Sa’id ia maula (budak yang telah di merdekakan) Abu Usaid dan ia berkata : “Aku menikah ketika aku masih seorang budak, ketika itu aku mengundang beberapa orang sahabat Nabi Saw, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud Ra, Abu Dzarr Ra dan Hudzaifah Ra, lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat, tetapi mereka berkata : “Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!” Ia (Abu Dzarr) berkata : “Apakah benar demikian?.” Jawab mereka,”Benar!.” Aku pun maju mengimami mereka shalat, ketika itu aku masih seorang budak, selanjutnya mereka mengajariku,“Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at, lalu mintalah kepada Allah Swt kebaikan atas isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya, selanjutnya terserah kamu berdua!.” Selanjutnya juga ada pada dalil ini, yaitu : Hadits dari Abu Wa’il, ia berkata,”Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud Ra, lalu ia berkata,”Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.” ‘Abdullah bin Mas’ud Ra berkata,”Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaithan, untuk membenci apa - apa yang di halalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu, lalu ucapkanlah (berdo’alah) : “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.”

3. Mencumbunya dengan segenap kelembutan dan kemesraan, seperti dengan memberinya makanan atau segelas minuman atau yang lain sebagainya, ini dasarnya dari : Asma’ binti Yazid binti As-Sakan Ra, ia berkata : “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah Saw, setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah, ketika itu Rasulullah Saw di sodori segelas susu, setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah, tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu - malu.” ‘Asma binti Yazid berkata : “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya,”Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Saw!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.”

4. Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a : “Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaithan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.” (jika mau teks arabnya lihat pada kitab – kitab shahih imam hadist terkemuka). Juga Rasulullah Saw bersabda : “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaithan tidak akan membahayakannya selama - lamanya.”

5. Seseorang suami boleh saja menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang di sukainya, asalkan hanya pada kemaluannya jika berhubungan badan (jima’), sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 223, yaitu : “Isteri - isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok - tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya dan berilah kabar gembira orang - orang yang beriman.” Juga lihat pula pada riwayat ini dasarnya, yaitu, Ibnu ‘Abbas Ra berkata,“Pernah suatu ketika ‘Umar bin Khaththab Ra datang kepada Rasulullah Saw, lalu ia berkata,”Wahai Rasulullah, celaka saya.” Beliau bertanya,”Apa yang membuatmu celaka?” ‘Umar menjawab,”Saya membalikkan pelana saya tadi malam.” Dan Rasulullah Saw tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat seperti di atas kepada beliau, lalu Rasulullah Saw bersabda : “Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh.” Pada riwayat lain Rasulullah Saw bersabda : “Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang, asalkan pada kemaluannya.”

6. Sang suami boleh menggauli isterinya kapanpun dia mau sepanjang saling suka dan tidak pada saat haidh, jika telah selesai melepaskan hasrat, maka sang suami janganlah tergesa – gesa bangkit meninggalkan kudanya hingga sang isteri mersakan juga terlepas atas hajatnya, hal ini adalah kunci keharmonisan dan rasa kasih sayang antara keduanya, dan apabila sang suami mampu dan ingin mengulangi lagi, kaka hendaknya berwudhu’ terlebih dahulu sebagaimana wudhu’nya shalat, hal ini dasarnya adalah : Rasulullah Saw bersabda,”Jika seseorang di antara kalian menggauli isterinya, kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” Akan tetapi yang lebih afdhal atau sempurna menurut syari’at adalah hendaknya mandi janabah (junub) terlebih dahulu, wudhu’ tadi adalah aturan dalam kondisi minimal namun tiada salah menurut syari’at, ini dasarnya adalah : Dari hadits Abu Rafi’ Ra, bahwasanya Nabi Saw pernah menggilir isteri - isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata,”Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab,”Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.”

7. Apabila seseorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, dan terganggu syahwatnya atas yang sedemikian, maka obatnya adalah mesti ia mendatangi isterinya atas maksud tersebut, guna untuk menghindari godaan syaithan pada zina, berdasarkan pada riwayat sebagai berikut : Rasulullah Saw melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya, yaitu Zainab Ra, yang mana dia sedang membuat adonan roti, lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya), kemudian beliau bersabda,”Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaithan dan membelakangi dalam rupa syaithan, maka apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya, karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” Ingatlah, bahwa menahan pada pandangan yang sedemikian adalah wajib hukumnya, karena pengertian pada hadits tersebut adalah untuk dan hanya berkenaan dan berlaku pada pandangan secara tiba – tiba atau mendadak situasinya dan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, sanggup menahan gejolak tersebut adalah lebih utama. Allah Swt berfirman dalam Surah An-Nuur Ayat : 30, yang berbunyi :

"Katakanlah kepada orang laki - laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” Juga pada riwayat hadist ini, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,”Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali,”Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu.”

8. Menyetubuhi isteri pada duburnya adalah haram dan juga haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh atau nifas, sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah Al-Baqarah Ayat : 222 yang berbunyi : "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “Haidh itu adalah suatu kotoran.” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang di perintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang - orang yang bertaubat dan menyukai orang - orang yang mensucikan diri.”

[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh. Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah di turunkan kepada Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” Juga pada hadist ini : “Di laknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.”

9. Kaffarat bagi seseorang suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh adalah ia harus bershadaqah, hal ini berdasarkan pada hadits dari Ibnu ‘Abbas Ra, Rasulullah Saw bersabda : “Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.”

10. Boleh seseorang suami untuk bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, tetapi hanya boleh bercumbu dengannya, dan tidak boleh pada kemaluannya atau seterusnya....? dasarnya pada hadist ini, yaitu,”Lakukanlah apa saja, kecuali nikah (jima’ atau bersetubuh).”

11. Jika sepasang suami isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur) sebelum mandi janabah (junub), maka hendaklah mereka mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Dengan dasar hadits dari ‘Aisyah Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda,”Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” Juga pada hadist ini, dari ‘Aisyah Ra, ia berkata,”Apabila Nabi Saw hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.”

12. Lebih baik jangan bersetubuh dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan dan suami isteri di bolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri di bolehkan saling melihat aurat masing - masing.

13. Hukumnya haram menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri, setiap suami maupun isteri di larang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia masalah ranjang mereka, karena ini telah di larang oleh Nabi Saw, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari kiamat adalah laki - laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya (mereka saling buka rahasia atau bercerita).” Pada riwayat hadits lain yang lebih shahih adalah Rasulullah Saw bersabda,”Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaithan laki - laki yang berjumpa dengan syaithan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dan di lihat oleh orang banyak.”

Banyak hal ini di lakukan oleh sebagian wanita, berupa membeberkan masalah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan – kawanya dalam pergaulan sehari - hari adalah sesuatu perkara yang di haramkan, tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang. Allah Swt berfirman dalam Surah An-Nisaa’ Ayat : 34, yaitu : “Kaum laki - laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki - laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki - laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita - wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari - cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

[289] Maksudnya : Tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

[290] Maksudnya : Allah Swt telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

[291] Nusyuz : Meninggalkan kewajiban bersuami isteri, nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya : Untuk memberi peljaran kepada isteri yang di khawatirkan pembangkangannya haruslah mula - mula di beri nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah di pisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah di bolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas, bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah di jalankan cara yang lain dan seterusnya.

Nabi Saw mengatakan,”Bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki - laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya.”

Demikian secara singkat mengenai bagaimana jima’ yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya, keseluruhan uraian ini adalah berdasarkan pada shahih – shahih imam terkemuka.

Posting Komentar untuk "ADAB JIMA’ MENURUT SYARI’AT"